Jumat, 06 November 2009

Catatan Seorang Ukhti...

Catatan Seorang Ukhti...
Bacalah dengan Nama Tuhanmu yang Menciptakan...!

Ya ALLAH, Janganlah Engkau hukum aku karena apa yang mereka katakan tentang aku. Berikanlah kebaikan padaku dari apa yang mereka sangkakan kepadaku. Ampunilah aku karena apa yang tidak mereka ketahui tentang diriku…

Demi ALLAH… bukannya ana ingin mendzolimi saudara ana sendiri, bukan ingin mempersulit jalannya, bukan itu tujuan ana. Tujuan ana hanya ALLAH… ana ingin ketika saatnya nanti ana harus menikah, ana ingin menikah dengan orang yang belum pernah ana lihat wajahnya, belum pernah ana kenal namanya, belum pernah ana dengar suaranya, dan belum pernah ana tau bagaimana akhlaknya... itu semua yang ana inginkan agar tujuan ini tidak bergeser, agar niatan ini lurus padaNYA, agar nantinya tidak akan ada fitnah yang muncul… untuk DIA-lah segalanya.

Bukankah sarana tidak bisa bergeser jadi tujuan??? Karenanya dengan siapapun nantinya ana menggenabkan dien ini… itu tidak akan jadi soal, itu hanya sarana. Tujuan ana hanya menggenabkan dien ini…hanya untuk-NYA. Ana tidak perlu terlalu fokus pada “sarana” saja, karena itu bukanlah “tujuan” utama.

Kekhawatiran akan selalu muncul ketika kaki ini harus melangkah ke luar rumah untuk berbagai aktifitas da’wah. Setiap muslim memiliki kewajiban untuk menjaga hijabnya dan juga hijab antar saudaranya. Ana khawatir jika seseorang “tergoda” karena tingkah laku ana… entah itu tergoda untuk apa, ana tidak bisa mendeskripsikannya. Khawatir jika ana di khitbah karena akhlak atau bahkan karena fisik. Ana tidak menginginkan keduanya. Dan jika ada yang tergoda karenanya…maka itulah sebuah kesalahan terbesar ana. Astaghfirulloh… ampunkanlah dosaku Ya ALLAH, terimalah taubatku, sesungguhnya Engkau-lah pengampun dosa-dosa besar… amin.

Memang bukan standar baku…, dan bukan sebuah kesalahan si ikhwan… tetap ahsan insya ALLAH jika alasannya karena telah melihat akhlak...bukan fisik semata. Tapi ana ingin yang lebih mulai dari itu…

Ana tidak ingin menikah hanya karena ingin menjaga hijab karena telah “bergetar” hatinya ketika melihat akhlak si ini atau si itu. Terjaganya hijab, ketenangan qolbu, hanya ibroh di balik perintahNYA untuk menggenabkan dien...bukan sebuah nash. Menikah adalah perintahNYA. Sami’na wa atho’na…

Apakah sekarang ini sudah sering terjadi, seorang ikhwan mendatangi ustadznya untuk mengutarakan niatnya berta’aruf dengan “si akhwat ini atau itu”…? Ia telah menyebut nama si akhwat di depan ustadznya terlebih dulu, terlihat seperti memesan si akhwat. Kenapa harus menyebutkan nama terlebih dulu? Allahu’alam… apa sebenarnya maksud di balik itu…?

Dan sudah tidak jarang lagi ketika si akhwat yang dituju menolak karena ketidaksiapan pribadi atau ortunya, si ikhwan lantas berkata “ana akan menunggu” atau “bolehkan ana maju kembali di kemudian hari, mungkin 1,2, atau 3 tahun lagi ukhti, hingga anti dan keluarga anti siap menerima ana…?”

Pada awalnya ia berkata, insya ALLAH niatnya menikah lurus untuk menggenabkan dien semata..., lantas kenapa ia harus memilah-milih si akhwat ? kenapa harus dengan akhwat ini atau itu, hingga ia mau menunggu ? Bukankah itu hanya wujud sarana untuk mencapai tujuannya, yakni ALLAH…??? Bukankah menunggu akan membuka pintu-pintu syaitan ???

Bukankah harusnya ketika ia mengutarakan kesiapannya menikah, ia juga harus siap “menjadikan” siapapun nantinya yang jadi penggenab diennya, akan jadi seseorang yang menentramkan qolbunya, menjadi istri yang sholehah, yang dicemburui para bidadari surga, dan membuat dirinya di”iri”i para syuhada ?

Bukankah “menjadikan” lebih mulia daripada sekedar “mencari” untuk memilih ?

Bukankah semua “proses” menuju akad tidak ahsan berlangsung lama ? karena dikhawatirkan akan muncul fitnah di antara kedua belah pihak.

Kenapa ia mau menunggu, padahal si akhwat tidak mau ditunggu atau pun menunggu…?

Sampai di sini, salahkah jika ikhwan seperti itu…tertolak ? Ikhwan yang sebelumnya si akhwat kenal baik…

Apa sebelumnya si ikhwan pernah membayangkan apa yang akan terjadi jika ia menunggu, akan ada perasaan lain yang sebelumnya tidak pernah ada ketika bertemu, dan kini timbul karena pinangannya ? karena ia telah menyebut nama si akhwat, karena si akhwat telah tau maksudnya ?

Bagaimana menjaga ketenangan qolbu jika harus bertemu dengan sosoknya di suatu tempat misalnya di kampus atau medan da’wah lainnya, setelah maksudnya terdengar di telinga si akhwat ? apa si ikhwan juga merasakan kegelisahan si akhwat ? apa ia bisa menjaga ketenangan qolbu si akhwat ? apa ia bisa merasakan sakitnya qolbu si akhwat jika tanpa sengaja bertemu dengannya atau sekedar terbayangkan maksud dan tujuannya pada si akhwat ?

Ana tidak ingin mendengar berita ana dikhitbah, sekalipun berita itu datangnya dari ustadzah ana. Apalagi jika berita itu tersampaikan dari si ikhwan yang langsung menyampaikannya tanpa perantara. Na’udzubillah…tsumma na’udzubillah… karena setidaknya dengan adanya pendamping/perantara yang lebih paham akan membantu kedua belah pihak untuk menjaga semua “proses” dari fitnah dan bisa membantu mengingatkan ketika langkah yang diambil kurang benar. Jadi lebih ahsan dengan adanya pendamping atau perantara yang ana yakini lebih paham daripada ana.

Yang ana inginkan, ustadzah ana terlebih dulu menawarkan…”adakah akhwat di sini ini yang siap menikah?”, jadi tidak ada pemesanan nama sebelumnya. Berita itu datang untuk semua akhwat yang siap menikah. Bukan jadi berita “khusus” untuk yang tersebut namanya.

Tidak bisa dipungkiri, akan jadi sebuah kesalahan besar dan penyesalaan bagi ana, jika si ikhwan mengkhitbah ana karena tertarik oleh akhlak ana. Meskipun hanya karena akhlak, bukan karena telah melihat fisik… tetap saja rasanya…ana telah secara tidak langsung mengganggu hijab qolbunya. Astaghfirulloh…

…Sesungguhnya termasuk kebaikanku adalah pengetahuanku akan kekurangan jiwaku… Astaghfirulloh…

Jika ana berkata fobia kaum Adam, itu karena ketakutan ana menjadi penggoda di mata mereka. Bukan karena ana merasa (afwan…) “jijik” pada mereka. Kalau pun ana membenci mereka…insya ALLAH itu dalam taraf yang wajar. Karena ana punya musuh yang nyata-nyata perlu dibenci ketimbang mereka.

Suatu hari seorang saudara bertanya, “kenapa anti begitu misterius ukht?”. Ana hanya bisa tersenyum dalam hati karena tak mampu menjawabnya. Ia bertanya seperti itu setelah membuka fs atau pun media elektronik lainnya, berharap mendapati profile ana.

Ada juga saudara yang ana kenal baik menanyakan kenapa ana tidak pernah membalas SMS tausyiahnya. Ana rasa sudah saatnya menjawab, karena metode “mendiamkannya” tidak menjadikannya paham, terbukti dari pertanyaannya itu. Kala itu ana jawab, “karena antum ikhwan, kalau antum akhwat… akan dengan senang hati ana SMS antum tiap waktu...insya ALLAH. Dalam bentuk apa pun komunikasi dengan nonmakhrom, antum tetap perlu menjaga hijab, karena faktor syaitan tidak bisa “dinihilkan”. SMS dengan kepentingan koordinasi mengenai sebuah proker da’wah atau kepentingan syar’i lainnya seperti tugas kampus, dll… saja tetap harus diperhatikan tata cara komunikasinya, entah itu bahasa yang digunakan agar tidak terkesan mendayu-dayu atau menjerumus ke terlonggarnya hijab dan bahkan mengenai perihal waktu berkomunikasi, karena SMS yang masuk layaknya tamu yang datang, tentunya akan sangat tidak sopan jika kita bertamu malam-malam. Apalagi SMSnya berisi tausyiah. Sekalipun tujuan SMSnya untuk saling mengingatkan, tetap saja itu nggak ahsan. Putihnya si pengirim belum tentu diikuti putinya si penerima SMS. Antum tidak perlu repot-repot menyebrang ke zona akhwat untuk menyemangati saudari antum. Perhatikan saja saudara-saudara antum, mungkin ada di antara mereka yang berhak dan halal menerima perhatian antum tapi belum atau lupa antum perhatikan. Afwan jiddan…”

Allahu’alam…ternilai setegas, sekasar atau mungkin seekstrim apa sikap ana itu...?

Sikap yang selalu menghilangkan jejak no HP ba’da proker usai, tidak pernah mau mengisi profile di media apa pun kalau pun ana mengisinya maka sudah pasti datanya tidak valid kecuali data di instansi tertentu yang memang wajib ana isi, tidak pernah mau foto atau pun memasang foto, teguran yang selalu ana luncurkan ketika seorang nonmakhrom menanyakan ana pada saudari ana padahal ia tidak memiliki kepentingan yang syar’i…

Semua itu ana lakukan karena ana khawatir dan takut ada SMS masuk dari ikhwan yang tidak memiliki kepentingan yang jelas. Bisa jadi bukan hanya HP saja yang akan bergetar tapi juga qolbu. Takut jika SMS itu tidak bernilai pahala di mataNYA melainkan dosa karena telah melonggarkan hijab,

Ana khawatir jika profile dan foto ana terlihat dan terbaca nonmakhrom lantas membuat mereka tergoda untuk sekedar memberikan sapaan melalui testimonial or comment , atau pun tergoda untuk melakukan yang lebih dari itu... Dan ana tidak berani untuk sekedar melihat foto. Karena ana tau qolbu ana kotor maka ana tidak ingin lebih mengotorinya dengan melihat foto dan memberikan peluang pada syaitan untuk turut memberi “rasa”,

Ana khawatir akan muncul fitnah dari pertanyaannya, dll.

Allahu’alam… mungkin prasangka dan kekhawatiran ana terlalu berlebih…Astaghfirulloh…

Bolehkah ana memelihara rasa “khawatir atau takut” pada ikhwan, selama perasaan itu tidak mengganggu kinerja da’wah di jalanNYA?

Pernah ada yang berkomentar, “anti terlalu mempersulit diri dengan semua sikap itu.” Apakah memang terlihat seperti mempersulit diri?

Atau bahkan terlihat ekstrim ???

Tidak pantaskah ana berharap mendapatkan sesuatu yang lebih mulia di hadapanNYA??? Astaghfirulloh…

Ya ALLAH, jadikanlah di dalam hatiku cahaya. Di dalam ucapanku cahaya. Jadikanlah pada pendengaranku cahaya. Jadikanlah pada penglihatanku cahaya. Jadikanlah dari belakangku cahaya. Dan dari depanku cahaya. Jadikanlah dari atasku cahaya. Dari bawahku cahaya. Ya ALLAH…berikanlah kepadaku cahaya dan jadikanlah aku cahaya…

WALLAHU’ALAM BISH SHOWAB.
Di pencarian mutiara di dasar hati...

Created by ALLAH and Rosululloh are Enough for Me...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar