Jumat, 31 Juli 2009

Benar, Baik Dan Berguna

Suatu hari seorang pria berjumpa dengan Bijaksana dan berkata, "Tahukah anda apa yang baru saja saya dengar mengenai salah seorang teman anda?"

"Tunggu sebentar," jawab Bijaksana. "Sebelum memberitahukan saya sesuatu, saya ingin anda melewati sebuah ujian kecil. Ujian tersebut dinamakan Ujian Saringan Tiga Kali."

"Saringan tiga kali?" tanya pria tersebut.

"Betul," lanjut Bijaksana. "Sebelum anda mengatakan kepada saya mengenai teman saya, mungkin merupakan ide yang bagus untuk menyediakan waktu sejenak dan menyaring apa yang akan anda katakan. Itulah kenapa saya sebut sebagai Ujian Saringan Tiga Kali. Saringan yang pertama adalah KEBENARAN. Sudah pastikah anda bahwa apa yang anda akan katakan kepada saya adalah benar?"

"Tidak," kata pria tersebut,"sesungguhnya saya baru saja mendengarnya dan ingin memberitahukannya kepada anda".

"Baiklah," kata Bijaksana. "Jadi anda sungguh tidak tahu apakah hal itu benar atau tidak. Sekarang mari kita coba saringan kedua yaitu: KEBAIKAN. Apakah yang akan anda katakan kepada saya mengenai teman saya adalah sesuatu yang baik?"

"Tidak, sebaliknya, mengenai hal yang buruk".

"Jadi," lanjut Bijaksana, "anda ingin mengatakan kepada saya sesuatu yang buruk mengenai dia, tetapi anda tidak yakin kalau itu benar. Anda mungkin masih bisa lulus ujian selanjutnya, yaitu: KEGUNAAN. Apakah apa yang anda ingin beritahukan kepada saya tentang teman saya tersebut akan berguna buat saya?"

"Tidak, sungguh tidak," jawab pria tersebut.

"Kalau begitu," simpul Bijaksana, "jika apa yang anda ingin beritahukan kepada saya... tidak benar, tidak juga baik, bahkan tidak berguna untuk saya, kenapa ingin menceritakan kepada saya?"

oOo

Menggunjing orang lain ( Ghibah ) merupakan santapan lezat bagi manusia. Di mana ada manusia berkumpul, maka jarang sekali majelis itu selamat dari
membicarakan aib orang lain, apakah itu tetangganya,temannya, iparnya, atau bahkan suami/istri dan orang tuanya sendiri tidak luput dari pembicaraan. Dan setan datang menghiasi, sehingga mereka yang hadir merasa lezat dalam berghibah dan lupa akan ancaman Allah dan Rasul-Nya terhadap perbuatan keji ini.

Mereka sebenarnya telah melakukan dua kejahatan: kejahatan terhadap Allah Ta’ala karena telah melakukan perbuatan dilarang olehNya dan kejahatan terhadap hak untuk menutup aib manusia.

Mari kita jauhi pergunjingan dan kasak-kusuk jahat. Sesungguhnya Rasululloh SAW bersabda :

"Ketika saya di mi`raj-kan, saya telah melihat suatu kaum yang berkuku tembaga yang digunakan mencakar muka dan dada mereka sendiri, maka saya bertanya pada Jibril : Siapakah mereka itu? Jawabnya : Mereka yang memakan daging orang lain dan mencela kehormatan orang lain (ghibah)". (HR. Abu Dawud).

Siapa yang mempertahankan kehormatan saudaranya yang akan dicemarkan orang, maka Allah akan menolak api neraka dari mukanya di hari kiamat". (At-Tirmidzi).

"Wahai orang-orang yang mengaku beriman dengan lisannya namun
iman itu belum masuk (belum sampai) ke dalam hatinya,janganlah kalian menyakiti kaum Muslimin, jangan kalian mengghibah mereka dan mencari-cari aurat mereka (kejelekan mereka), karena sesungguhnya siapa yang mencari-cari aurat saudaranya yang Muslim, niscaya Allah akan mencari-cari
auratnya .Dan siapa yang dicari-cari auratnya oleh Allah maka Allah akan membeberkan aurat tersebut walaupun di tengah rumahnya." (HR. Tirmidzi dan Abu Daud.)

Astaghfirulloh...

***

Benar, Baik Dan Berguna

Suatu hari seorang pria berjumpa dengan Bijaksana dan berkata, "Tahukah anda apa yang baru saja saya dengar mengenai salah seorang teman anda?"

"Tunggu sebentar," jawab Bijaksana. "Sebelum memberitahukan saya sesuatu, saya ingin anda melewati sebuah ujian kecil. Ujian tersebut dinamakan Ujian Saringan Tiga Kali."

"Saringan tiga kali?" tanya pria tersebut.

"Betul," lanjut Bijaksana. "Sebelum anda mengatakan kepada saya mengenai teman saya, mungkin merupakan ide yang bagus untuk menyediakan waktu sejenak dan menyaring apa yang akan anda katakan. Itulah kenapa saya sebut sebagai Ujian Saringan Tiga Kali. Saringan yang pertama adalah KEBENARAN. Sudah pastikah anda bahwa apa yang anda akan katakan kepada saya adalah benar?"

"Tidak," kata pria tersebut,"sesungguhnya saya baru saja mendengarnya dan ingin memberitahukannya kepada anda".

"Baiklah," kata Bijaksana. "Jadi anda sungguh tidak tahu apakah hal itu benar atau tidak. Sekarang mari kita coba saringan kedua yaitu: KEBAIKAN. Apakah yang akan anda katakan kepada saya mengenai teman saya adalah sesuatu yang baik?"

"Tidak, sebaliknya, mengenai hal yang buruk".

"Jadi," lanjut Bijaksana, "anda ingin mengatakan kepada saya sesuatu yang buruk mengenai dia, tetapi anda tidak yakin kalau itu benar. Anda mungkin masih bisa lulus ujian selanjutnya, yaitu: KEGUNAAN. Apakah apa yang anda ingin beritahukan kepada saya tentang teman saya tersebut akan berguna buat saya?"

"Tidak, sungguh tidak," jawab pria tersebut.

"Kalau begitu," simpul Bijaksana, "jika apa yang anda ingin beritahukan kepada saya... tidak benar, tidak juga baik, bahkan tidak berguna untuk saya, kenapa ingin menceritakan kepada saya?"

oOo

Menggunjing orang lain ( Ghibah ) merupakan santapan lezat bagi manusia. Di mana ada manusia berkumpul, maka jarang sekali majelis itu selamat dari
membicarakan aib orang lain, apakah itu tetangganya,temannya, iparnya, atau bahkan suami/istri dan orang tuanya sendiri tidak luput dari pembicaraan. Dan setan datang menghiasi, sehingga mereka yang hadir merasa lezat dalam berghibah dan lupa akan ancaman Allah dan Rasul-Nya terhadap perbuatan keji ini.

Mereka sebenarnya telah melakukan dua kejahatan: kejahatan terhadap Allah Ta’ala karena telah melakukan perbuatan dilarang olehNya dan kejahatan terhadap hak untuk menutup aib manusia.

Mari kita jauhi pergunjingan dan kasak-kusuk jahat. Sesungguhnya Rasululloh SAW bersabda :

"Ketika saya di mi`raj-kan, saya telah melihat suatu kaum yang berkuku tembaga yang digunakan mencakar muka dan dada mereka sendiri, maka saya bertanya pada Jibril : Siapakah mereka itu? Jawabnya : Mereka yang memakan daging orang lain dan mencela kehormatan orang lain (ghibah)". (HR. Abu Dawud).

Siapa yang mempertahankan kehormatan saudaranya yang akan dicemarkan orang, maka Allah akan menolak api neraka dari mukanya di hari kiamat". (At-Tirmidzi).

"Wahai orang-orang yang mengaku beriman dengan lisannya namun
iman itu belum masuk (belum sampai) ke dalam hatinya,janganlah kalian menyakiti kaum Muslimin, jangan kalian mengghibah mereka dan mencari-cari aurat mereka (kejelekan mereka), karena sesungguhnya siapa yang mencari-cari aurat saudaranya yang Muslim, niscaya Allah akan mencari-cari
auratnya .Dan siapa yang dicari-cari auratnya oleh Allah maka Allah akan membeberkan aurat tersebut walaupun di tengah rumahnya." (HR. Tirmidzi dan Abu Daud.)

Astaghfirulloh...

***

Surat Cinta Seorang Sufi

Bismillaahrohmaanirrohiim

Duhai cintaku... Cintailah aku sekedar Alloh menyuruh untuk mencintai makhluknya, tp Cintailah yg telah menganugerahkan cinta kepadamu... Karena CintaNYA melebihi apapun...

Duhai cintaku... Harapkanlah cinta dariku sewajarnya saja... karena cintanya makhluk berbeda dengan yang telah menganugrahkan cinta kepadamu...

Duhai cintaku... Bergantunglah kepadaku sewajarnya saja... karena diriku tidak punya kekuatan untuk memberi, kecuali apa yang telah Alloh berikan kepadaku...

Duhai cintaku... Cinta adalah hal yang di anugerahkan kepada setiap makhluk, karena cintaNYA... maka berikanlah cinta sejatimu kepada yang telah menjadikan cinta itu tumbuh dalam hatimu...

Duhai cintaku... kalau engkau mencintai apa yang engkau lihat dariku sekarang, yakinlah bahwa semua itu akan musnah di telan waktu... dan aku akan terbaring di telan bumi suatu saat nanti, yakinlah...

Duhai cintaku... Engkau akan lebih paham tentang arti cinta, jika engkau mengetahui seberapa dahsyat apa yang di hasilkan oleh cinta...

Duhai cintaku... Masih banyak yang ingin kusampaikan tentang cinta... tetapi cinta itu untuk di rasakan dan di expresikan dalam keseharianmu... maka berikanlah... expresikanlah... cintamu dengan tepat, agar engkau selamat kelak...

Duhai cintaku... ku tulis surat ini di kala engkau bertanya dan meragukan cintaku... yakinlah... bahwa cinta yang ada dalam hati ini, sesuai dengan kodrat yang telah Alloh berikan kepadaku...

Duhai cintaku... Maafkanlah semua kesalahan dan kekuranganku, semoga engkau dapat merasakan cinta yang ku berikan kepadamu...

Semoga...

***

RENUNGAN TENTANG EKONOMI ISLAM

Bismillaahirrohmaanirrohiim..

Rasulullah dikenal dengan sebutan Al-Amin (yang dapat dipercaya) bukan di dalam mesjid, melainkan di market (perdagangan) karena kejujurannya. Mengutamakan perputaran barang dengan harga murah. Sehingga terjadi falah antara penjual dan pembeli.

Ada 2 peperangan Rasulullah Muhammad Salallaahu 'Alaihi Wasallam dalam hal ekonomi :
1. Perang dalam hal melarang Riba (sistem bunga)
2. Perang dalam hal menunaikan zakat.

Sistem bunga (riba) diperkenalkan pertama kali oleh YAHUDI.

Suatu negeri yang memakai sistem bunga tidak akan berdiri tegak (makmur) melainkan terhuyung-huyung seperti disebutkan dalam surat Al-Baqoroh : 275)
Contoh paling dekat negeri kita tercinta: Indonesia.
Di negara kita masih banyak usaha yang memakai sistem riba.

Dalam suatu perdagangan islami antara penjual dan pembeli harus saling menguntungkan.
Pada zaman Rasulullah di dalam market ada 3 pihak :
a. Pedagang
b. Pembeli
c. Pengadilan market, yang salah satu fungsinya mengatur harga barang, sehingga sudah cukup mengenal kisaran harga barang yang layak (COGS, dsb).

Pelajari dan cermati perdagangan jaman rasulullah sallaahu alaihi wassalam.
Betapa makmurnya negeri saat itu. Pada jaman tersebut ada penengah antara penjual dan pembeli sebagai pengadilan market (ma'af istilahnya lupa). Sehingga ada keadilan terhadap harga barang di pasar. Penjual tidak boleh menjual terlalu mahal dan pembeli tidak boleh menawar harga terlalu murah.
Tetapi lihatlah khususnya negeri kita, pengadilan market tidak ada, apalagi ma'af keadilan masih kurang ditegakkan..masya Allah.
Hal ini bisa dibandingkan dengan negara lain, salah satu contoh mereka bisa menjual dengan harga yang sangat murah. Barang-barang kita dijual sangat mahal sampai-sampai ada anekdot harga mineral lebih mahal dari harga bahan bakar.

Hal yang paling utama dalam perdagangan ialah Akhlak. Kemudian ditunjang dengan tauhid, adil, jujur, dsb.
Sebenarnya dalam islam, penjual/ produsen jika sudah mencapai titik BEP (Break Even Point), itu sudah bagus. Karena berarti sudah bisa menggaji karyawan (manajer - bawahan) dsb. Sehingga tidak diperkenankan mencapai laba maksimal.

Dampak negatif perdangangan yang tidak islami sudah terjadi dan trend di negara kita
menyebabkan banyak orang tergiur dengan keuntungan yang maksimal tersebut, akhirnya muncul :

- Barang-barang dijual sangat mahal, padahal daya beli masyarakat rendah.
Keuntungan sangat maksimal dgn biaya produksi sangat rendah.

- MLM (Multi Level Marketting), hukumnya bagi sebagian orang masih dianggap samar-samar, tetapi bagi saya pribadi setelah mendapat kajian ini, maka MLM ini tidak islami karena mengutamakan keuntungan pribadi. Munculnya pertama kali juga dari non muslim. Saat ini menjadi trend karena banyaknya orang yang tergiur dengan keuntungan yang dijanjikan dan masalah kebutuhan hidup yang sangat tinggi.

- produksi makanan yang mengandung zat berbahaya, maka penjualan barang ini walaupun perusahaan rugi pun tetap tidak halal. Misal saos, zat penyebab kanker, dsb.

- Barang palsu, bahkan obat-obatan juga dipalsu..masya Allah. Orang sakit tidak malah sembuh tetapi dipercepat untuk meninggal dunia.


Kemunduran lain yang terjadi adalah: masyarakat non muslim lebih giat mempelajari ilmu ekonomi syariah, sedangkan muslim sendiri mulai mengingkarinya, dan menghalalkan riba..naudzubillahimindalik.
Dosen syariah di Trisaksi adalah seorang non muslim yang cukup fasih menyampaikan ekonomi syariah.

Padahal telah terjadi bukti di tahun 1998 saat krisis moneter beberapa bank konvensional mengalami kebangkrutan dan beberapa mendapat suntikan dana yang sanagat besar. Alhamdulillah Bank syariah seperti Bank Muamalat tidak terpengaruh. Sehingga muncullah pemikiran bahwa produk syariah lebih bagus, dan produk syariah mulai diminati bagi yang menyadarinya. Ini juga membuktikan Al-quran adalah satu-satunya petunjuk dari Allah yang akan menuntun ke arah kehidupan yang lebih baik, di dunia maupun di akherat.

Sektor moneter juga diperkenalkan oleh yahudi, saat ini terbukti banyak kelemahannya dibandingkan sektor riil yang berlaku di jaman rasulullah. Cina sangat kuat karena Cina lebih ahli dalam sektor riil, menjual harga sangat murah dengan menekan biaya. Ketika terjadi gejolak kurs mata uang, Cina tidak terpengaruh karena sudah memiliki beberapa trilyun Dollar dari bisnis sektor riil. Negara eropa lebih ahli dalam sektor moneter (pertukaran mata uang). Bagaimana dengan negara kita?

Alhamdulillah beberapa contoh lain : ilmuwan non muslim yang berusaha mempelajari Al-quran akhirnya bersyahadat masuk islam karena menemukan petunjuk kebenaran di dalam Al-quran yang tidak mungkin datangnya dari manusia, melainkan dari Allah subhanahu wa ta'ala. Misalnya masalah isra' mi'raj, dsb.

Jangan beranggapan bahwa muslim tidak boleh kaya, tapi kayalah dengan cara yang benar. Utamakan kebaikan bersama ummat diatas kepentingan pribadi dengan akhlak yang baik. Hindari riba dan sampaikan zakat kepada yang berhak.

Orang yang tidak mengeluarkan zakat lebih kejam daripada perampok/ pencuri. Artinya Orang yang tidak mengeluarkan zakat adalah seorang pencuri harta fakir miskin. Sedangkan Perampok/ pencuri biasanya mencuri harta orang kaya.
Tapi bukan berarti perampok/ pencuri itu dihalalkan.


Firman Allah tentang Riba :

S U R A T A L - B A Q A R A H

2:275. Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.

2:276. Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.

2:278. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.

2:279. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertobat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.

S U R A T A L - I M R O N

3:130. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.

S U R A T A N - N I S A '

4:161. dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.

S U R A T A R - R U U M

30:39. Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).

***

Jangan Mengeluh !!

Kita selalu Bertanya.... ......... dan Al-Quran sudah menjawabnya. .........

KITA BERTANYA : KENAPA AKU DIUJI?
QURAN MENJAWAB
"Apakah manusia itu mengira bahawa mereka dibiarkan saja dengan mengatakan; "Kami telah beriman," ("I am full of faith to Allah") sedangkan mereka tidak diuji? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang2 yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang2 yang benar dan, sesungguhnya Dia mengetahui orang2 yang dusta."
-Surah Al-Ankabut ayat 2-3

KITA BERTANYA : KENAPA AKU TAK DAPAT APA YG AKU IDAM-IDAMKAN?
QURAN MENJAWAB
"Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi pula kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu, Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui."
- Surah Al-Baqarah ayat 216

KITA BERTANYA : KENAPA UJIAN SEBERAT INI?
QURAN MENJAWAB
"Allah tidak membebani seseorang itu melainkan sesuai dengan kesanggupannya. "
- Surah Al-Baqarah ayat 286

KITA BERTANYA : KENAPA AKU FRUST?
QURAN MENJAWAB
"Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah pula kamu bersedih hati, padahal kamulah orang2 yang paling tinggi darjatnya, jika kamu orang2 yang beriman."
- Surah Al-Imran ayat 139

KITA BERTANYA : BAGAIMANA HARUS AKU MENGHADAPINYA?
QURAN MENJAWAB
"Wahai orang-orang yang beriman! Bersabarlah kamu (menghadapi segala kesukaran dalam mengerjakan perkara-perkara yang berkebajikan) , dan kuatkanlah kesabaran kamu lebih daripada kesabaran musuh, di medan perjuangan), dan bersedialah (dengan kekuatan pertahanan di daerah-daerah sempadan) serta bertaqwalah (be fearfull of Allah The Almighty) kamu kepada Allah supaya, kamu berjaya (mencapai kemenangan). "

KITA BERTANYA : BAGAIMANA HARUS AKU MENGHADAPINYA?
QURAN MENJAWAB
"Dan mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan jalan sabar dan mengerjakan sembahyang; dan sesungguhnya sembahyang itu amatlah berat kecuali kepada orang-orang yang khusyuk"
- Surah Al-Baqarah ayat 45

KITA BERTANYA : APA YANG AKU DAPAT DARIPADA SEMUA INI?
QURAN MENJAWAB
"Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang2 mu'min, diri, harta mereka dengan memberikan syurga untuk mereka...
- Surah At-Taubah ayat 111

KITA BERTANYA : KEPADA SIAPA AKU BERHARAP?
QURAN MENJAWAB
"Cukuplah Allah bagiku, tidak ada Tuhan selain dari Nya. Hanya kepadaNya aku bertawakkal. "
- Surah At-Taubah ayat 129

KITA BERKATA : AKU TAK DAPAT TAHAN!!!
QURAN MENJAWAB
"... ..dan jgnlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah melainkan kaum yg kafir."
- Surah Yusuf ayat 12

***

"Setiap Orang Memberi Sesuai Dengan Kemampunyannya Untuk Memberi"

Pada era perang dingin. Sebelum tembok Berlin- yang memisahkan Jerman Timur & Barat- runtuh, ada beberapa orang Berlin Timur yang membuat lelucon untuk mengejek orang-orang di Barat tembok.Mereka mengirim "bingkisan" kepada tetangga mereka di Berlin Barat.

Mereka mengisi sebuah truk pengangkut tanah dengan barang-barang yang tidak diinginkan, seperti, sampah, puing-puing bangunan, dan banyak lagi barang yang menjijikkan yang dapat mereka temukan. Mereka dengan tenang membawa bingkisan itu melintasi perbatasan, mendapat izin untuk lewat, dan mengirimkan bingkisan tersebut dengan membuangnya di kawasan Berlin Barat.

Tidak sulit untuk menduga bahwa orang Berlin Barat tersinggung karenanya dan berpikir untuk memberikan balasan yang setimpal. Orang langsung mulai menawarkan gagasan-gagasan mereta tentang cara membalas perbuatan tak terpuji itu.

Tiba-tiba ada seorang bijak datang ketengah mereka yang sedang mengumbar nafsu amarah. Ia menawarkan sesuatu yang benar-benar berbeda. Yang sangat mengherankan, orang menanggapi saran tersebut dengan senang hati dan mulai mengisi sebuah truk sampai penuh dengan barang-barang yang terhitung langka di kawasan Berlin Timur. Pakaian, makanan, obat-obatan, semua dinaikkan ke dalam truk.

Mereka membawa truk bermuatan penuh itu melintasi perbatasan, kemudian dengan hati-hati membongkar dan menyusun barang-barang berharga itu di tanah, dan meninggalkan sebuah pesan yang berbunyi, "Setiap orang memberi sesuai dengan kemampunyannya untuk memberi."

Kita dapat membayangkan bagaimana reaksi mereka yang melihat "bingkisan balasan" itu serta pesan yang tertulis bagi mereka. Perasaan mereka campur aduk. Terkejut. Malu. Kehilangan kepercayaan diri. Bahkan mungkin ada yang menyesal.

oOo

Apa yang kita berikan kepada orang lain merupakan sebuah pesan yang jelas sekali mengenai siapa kita.

oOo

Kisah Selembar Daun

Kisah Selembar Daun

Pada sebatang pohon kecil, hiduplah beberapa daun yang tumbuh bersama. Di antara daun-daun tersebut terdapat sebuah daun yang sangat besar dan kuat. Daun itu diagung-agungkan karena kekuatannya. Dialah yang dianggap pelindung bagi daun-daun lainnya dari badai, hujan, panas matahari yang terik, dan bahaya lainnya.

Suatu ketika datanglah musim kemarau yang panjang. Daun-daun di pohon kecil itu mulai layu karena tidak mendapat air dan makanan. Daun besar yang tadinya kuat dan besar mulai terlihat keriput. Ia berusaha melindungi daun-daun lainnya dari matahari yang bersinar sangat terik sehingga daun2 sahabatnya itu tidak kehilangan air lebih banyak lagi. Hari berganti hari, daun besar itu sudah sampai pada puncak usahanya. Ia mulai sobek-sobek sehingga sinar matahari mulai menembusnya. Ia mulai kehilangan kekuatannya dan daun-daun lainnya pun sudah mulai mengabaikannya karena ia tidak kuat lagi seperti dulu.

Beberapa hari kemudian daun besar itu merasa tidak kuat lagi akhirnya ia berkata kepada teman-temannya : Teman-teman aku tidak lagi mempunyai kekuatan untuk melindungi kalian, aku akan gugur. Selamat tinggal. Setelah berkata demikian akhirnya daun besar itu pun gugurlah. Musim kemarau terus berlanjut, daun-daun di pohon kecil itu saling bertahan untuk hidup. Mereka sama sekali sudah melupakan daun besar yang telah berjasa melindungi mereka sehingga mereka dapat bertahan sampai sekarang.

Musim kemarau tidak juga berakhir. Daun-daun di pohon kecil itu sudah mulai kehilangan harapan. Mereka merasa sangat kelaparan, kehausan dan akan mati. Di saat mereka putus asa, tiba tiba dirasakan adanya air dan makanan dari tanah. Mereka terheran-heran akan adanya keajaiban itu. Setelah lama mencari-cari, mereka menyadarinya. Mereka melihat bahwa daun besar itu sudah membusuk dan menghasilkan air dan sari makanan bagi mereka. Akhirnya dengan air dan sari makanan dari daun besar tadi, daun daun di pohon kecil itu berhasil bertahan sampai musim hujan datang. Daun-daun di pohon kecil itu sangat menyesal karena telah melupakan daun besar itu. Padahal sampai akhir hayatnya daun besar itu tetap menjadi pahlawan bagi daun-daun lainnya.

Renungan bagi kita, Janganlah menilai seseorang dengan penampilan dan kekuatannya. Tuhan memberikan bantuan kepada kita melalui siapa saja bahkan melalui orang yang kita anggap telah jatuh dan hina. Ingatlah rencana Tuhan itu ajaib dan tidak pandang bulu terhadap semua hambanya.

***

Ibadah pada saat butuh

Bismillahirrohmaanirrohiim

Berhati-hatilah bagi orang-orang yang ibadahnya temporal, karena bisa jadi perbuatan tersebut merupakan tanda-tanda keikhlasannya belum sempurna.

Karena aktivitas ibadah yang dilakukan secara temporal tiada lain, ukurannya adalah urusan duniawi.

Ia hanya akan dilakukan kalau sedang butuh, sedang dilanda musibah, atau sedang disempitkan oleh ujian dan kesusahan, meningkatlah amal ibadahnya.

Tidak demikian halnya ketika pertolongan ALLOH datang, kemudahan menghampiri, kesenangan berdatangan, justru kemampuannya bersenang-senangnya bersama ALLOH malah menghilang.

Bagi yang amalnya temporal, ketika menjelang pernikahan tiba-tiba saja ibadahnya jadi meningkat, shalat wajib tepat waktu, tahajud nampak khusu, tapi anehnya ketika sudah menikah, jangankan tahajud, shalat subuh pun terlambat.

Ini perbuatan yang memalukan. Sudah diberi kesenangan, justru malah melalaikan perintah-Nya.

Harusnya sesudah menikah berusaha lebih gigih lagi dalam ber-taqarrub kepada ALLOH sebagai bentuk ungkapan rasa syukur.

ya Allah lindungilah kami dari lalai kepada-MU, dalam segala kondisi...
semoga bermanfaat

***

Mimmiyat, Salik, dan Kematian.

Alkisah, seorang sufi beribadat di atas benteng di puncak sebuah bukit yang tinggi. Di bawah benteng itu mengalir sungai yang jernih. Begitu rupa sufi ini beribadat sehingga ia tenggelam dalam munajat dan doanya. Rasa haus pun menyerangnya. Ia melihat ke kiri dan ke kanan, tapi tak ia dapatkan minuman. Benteng itu mengurungnya. Suara air dibawah begitu jernih terdengar di telinganya. Serangan haus itu semakin menjadi. Ia pukulkan tangannya ke dinding benteng itu, merobohkan bata demi bata, meruntuhkan tiang demi tiang, berusaha mendekatkan dirinya menuju sungai di bawahnya. Setiap bongkah batu yang dijatuhkannya, gemericik suara air terdengar karena percikannya. Semakin ia mendengar percik itu, semakin besar kerinduannya. Melihat ini, sungai di bawahnya itu berkata, "Hai salik, apa yang kau lakukan? Kauhancurkan bentengmu?" Sufi itu menjawab, "Dengan meruntuhkan benteng ini aku punya dua keuntungan. Keuntungan yang pertama, aku makin dekat denganmu. Keuntungan yang kedua, setiap bongkah yang jatuh menenteramkan batinku."
Tibalah akhirnya, pada bongkah yang terakhir. Dengan penuh semangat, ia menjatuhkan dirinya, menceburkannya pada air sungai itu yang berkata: Masihkah akan kau minum airku yang sudah kotor ini? Sufi itu menjawab: Air suci yang datang darimu masih jauh lebih bersih lagi. Sungai pun berkata: Mandilah dan minumlah. Puaskan dahagamu. Sucikan ruh dan jiwamu.
Kisah di atas ditulis Rumi, lagi-lagi penuh dengan metafora: perumpamaan-perumpamaan buat kita untuk menggali maknanya. Sufi itu adalah misal kita semua. Air sungai yang jernih adalah tujuan perjalanan kita. Dalam setiap diri kita ada kerinduan kepada yang abadi, ada fitrah yang tak mungkin terganti, ada kekosongan yang harus terisi. Itulah jeritan seruling Rumi.
Tetapi antara kita dan tujuan kita ada benteng kokoh yang menghalangi kita. Kata Rumi, itulah hawa nafsu kita. Benteng itu harus kita robohkan, hawa nafsu itu harus kita kalahkan. Bukankah Nabi Saw bersabda memerangi hawa nafsu adalah jihad al-akbar? Tasawuf adalah ilmu untuk meruntuhkan keakuan kita, menaklukan hawa nafsu kita, meniadakan keinginan kita.
Ada dua keinginan: Keinginan Tuhan dan keinginan manusia. Dari dua keinginan ini, kita bisa bagi empat kelompok hamba. Kelompok pertama adalah kelompok yang mendahulukan kehendak diri di atas kehendak Tuhan. Ketika Tuhan menghendaki kita meluangkan waktu pertengahan malam dalam berdoa, kita lebih memilih kehangatan selimut kita. Ketika Tuhan meminta kita untuk membantu sesama, kita lebih memilih untuk menumpuk harta. Inilah kelompok yang menjadikan hawa nafsu sebagai Ilah-nya. Kelompok kedua adalah kelompok yang terombang-ambing diantara dua keinginan. Terkadang ia dahulukan kehendaknya, pada kesempatan yang lain ia memenuhi panggilan Tuhannya, Inilah, mungkin, kelompok mayoritas di antara manusia. Kelompok ketiga adalah kelompok yang senantiasa mendahulukan kehendak Tuhan diatas kehendak manusia. Kelompok ini berusaha untuk menggapai rido Allah, meski mereka masih mempunyai keinginan. Mereka korbankan keinginan itu demi rido Allah Swt. Inilah kelompok para mujahid. Kelompok yang keempat adalah merek yang sudah tidak memiliki apa pun kecuali kehendak Allah Swt dalam dirinya. Kehendak Tuhan dan kehendak mereka sudah menyatu. Mereka tidak lagi memiliki kehendak. Semuanya adalah ma sya'a Allah. Inilah kelompok para kekasih Allah.
Bayazid al-Busthami, seorang sufi besar pernah diriwayatkan berdoa:Ilahi, uridu an la urid, aku ingin agar aku tidak punya keinginan lagi.
Hawa nafsu adalah gudang keinginan kita. Berbeda dengan cerita Rumi, Imam Ghazali mengibaratkan hawa nafsu itu sebagai seekor kuda liar, ia bukan untuk dihilangkan. Ia harus kita taklukkan. Hawa nafsu itu harus berada di bawah kendali kita. Sehingga cepat kita berjalan kembali kepada-Nya.
Kisah Rumi di atas juga mengajarkan agar kita tidak henti-henti berusaha dan tak pernah putus asa. Pernah seorang sufi berdoa dan setan datang mengganggunya. Setan mengalihkannya dari doa dengan mengatakan bahwa Tuhan tidak mendengarkannya, Tuhan tidak mempedulikannya, Tuhan tidak pernah menjawabnya. Sufi ini putus asa. Ia hentikan doa-doanya. Suatu malam ia bermimpi. Ia melihat malaikat datang menujunya. Malaikat itu menyampaikan pesan Tuhan, bertanya mengapa ia tak lagi berdoa kepada-Nya. Ketika sufi itu menjawab bahwa ia tak lagi berdoa karena tak pernah ia dengar jawaban dari Tuhan, malaikat itu berkata:tangisanmu dalam doamu, adalah jawaban Tuhan terhadapmu; kenikmatan berzikirmu adalah jawaban Tuhan terhadapmu; kerinduanmu akan waktu-waktu shalatmu, adalah jawaban Tuhan terhadapmu.
Walhasil, langkah berikutnya dalam tasawuf adalah mengendalikan hawa nafsu kita. Mengendalikan hawa nafsu berarti menempatkannya pada tempat yang semestinya. Kita boleh marah asalkan marah kita karena hak kita yang dirampas, atau karena melihat seseorang dizalimi. Kita boleh iri melihat orang yang jauh lebih taat dalam shalat ketimbang kita. Kita boleh dengki melihat orang menginfakkan hartanya lebih banyak dari kita. Inilah prinsip al-bughdhu wa al-hubbu lillah, seorang mukmin itu marah bila Tuhan marah, dan rido bila Tuhan rido.
Untuk mengendalikan hawa nafsu ini, para sufi memberi 3 mim sebagai langkahnya. Inilah mimmiyat (petuah-petuah yang diawali dengan huruf mim). Pada awalnya mimmiyat ini dilakukan harian. Dan pada jangka panjangnya, ia dilakukan sepanjang hayat kita.
Mim yang pertama adalah musyarathah, pengkondisian, persyaratan. Mim ini adalah niat. Pekerjaan pertama setiap kita. Pada niat ini kita mensyaratkan atas diri kita, menadzarkan, menjanjikan untuk melakukan serangkaian amalan tertentu. Mungkin hari ini kita mensyaratkan agar diri kita berinfak, atau untuk shalat tepat pada waktunya, atau untuk mempelajari ilmu, atau untuk membaca minimal sepuluh ayat dari kitab suci, atau apa saja..
Mim yang kedua adalah muraqabah, penjagaan. Mim ini adalah proses pelaksanaan. Agar kita waspada dan berhasil menjalankan apa yang sudah kita syaratkan.
Mim yang ketiga adalah muhasabah, evaluasi. Setiap mukmin sebetulnya dianjurkan untuk senantiasa menghisab dirinya setiap saat. Pada mim ini, kita mengevaluasi, sudahkah amalan yang kita syaratkan berhasil kita lakukan. Tahap evaluasi ini biasa dilakukan menjelang tidur, sebelum menyambut esok hari dengan musyarathah yang baru.
Begitu muhasabah berakhir, dimulailah musyarathah yang baru. Demikian terus menerus, hingga akhir hayat kita. Proses ini dilakukan berulang - ulang agar kita tidak terjatuh pada sabda Nabi (juga diriwayatkan dari Imam Musa as): man istawa yaumahu fahuwa maghbun. Celakalah orang yang sama dua harinya. Dalam terminologi tasawuf, hadist ini diistilahkan dengan hasanat al-abrar sayyi'at al-muqarrabin: amal shalih al-abrar, itu adalah amal buruk al-muqarrabin.
Imam Khomeini ra menambahkan dua mim lagi (kalau saya tidak salah) mu'aqabah dan mujahadah. Mu'aqabah adalah proses "pembalasan diri" "penyiksaan diri". Segera setelah muhasabah, kita sadari bahwa kita tidak menjalanan apa yang sudah kita syaratkan, maka- menurut Imam (sepemahaman saya)- kita dituntut untuk menghukum diri kita. Tentu tidak dengan hukuman yang menyiksa dan menyakiti diri kita. Dahulu pernah di siang hari yang terik di Madinah, ketika Nabi yang selalu dinaungi awan saja berteduh, seorang sahabat membuka bajunya, menjatuhkan badannya ke pasir yang panas, menggerak-gerakkannya dan membakarnya seraya berkata,"Dzuqi, duhai diri, rasakanlah! Karena panas yang akan kau terima di hari akhirat nanti jauh lebih berat dari apa yang kau rasakan hari ini." Dan Nabi menegurnya. Kira-kira, mungkin, bukan itu bentuk mu'aqabah. Kita bisa menghukum diri kita dengan menambahkan syarat yang lain, atau dengan "memaksa" diri kita untuk berbuat baik yang lainnya:berkhidmat, mengkhatam Al-Qur'an, atau berpuasa, atau apa saja. Intinya adalah agar syarat yang tidak dapat kita penuhi tidak lewat begitu saja, apalagi bila kemudian diganti dengan syarat yang baru.
Mujahadah adalah mim yang kelima. Inilah proses jihad akbar yang sesungguhnya. Inilah jihad ketika kita berusaha memelihara setiap sifat baik dalam jihad diri kita. Ketika mimmiyat dari musyarathah hingga mu'aqabah senantiasa kita lakukan.
Saya menambahkan 2 mim lagi. Karena amatir, maka 2 mim yang saya tambahkan tidak menggunakan wazan mufa'alah, seperti mimmiyat di atas. Mim berikutnya adalah malakah. Terjemahan yang paling tepat untuk malakah mungkin ada dalam bahasa inggris. yaitu habit. Malakah adalah sesuatu yang kemudian kita "kuasai" begitu rupa hingga menjadi bagian dari tubuh kita, tak terpisahkan. Seperti sifat pengecut pada orang yang lari terbirit-birit, atau sifat dermawan dari orang yang senang berinfak. Ia sudah menjadi bagian dari diri. Ia dan sifatnya tak lagi dapat dipisahkan. Kesanalah tasawuf membimbing kita, agar setiap sifat Tuhan itu kemudian menjadi malakah kita. Mim yang terakhir adalah maut, kematian. setiap proses dalam mim ini berlanjut hingga kematian menjemput kita.
Dalam tasawuf, kematian itu adalah pilihan. Diriwayatkan hadist yang makruf di kalangan tasawuf, mutu qabla an tamutu, matilah kalian sebelum mati.
Mulla Shadra membagi dua macam cara kembali: al-ruju' al-idhtirari dan al-ruju al-ikhtiyari, kembali yang terpaksa dan kembali yang sukarela. Semua kita pasti akan kembali pada Allah Swt. Mau tidak mau, suka tidak suka, suatu saat Malaikat maut akan mengepk-ngepakkan sayapnya di atas ubun-ubun kita. Pada saat itu, siap tidak siap, kita harus meninggalkan seluruh kehidupan ini. Para sufi memilih untuk kembali sebelum waktunya, untuk mudik sebelum masanya. Salah satu cara untuk menjemput kematian adalah dengan membunuh keinginan-keinginan. Para sufi mempraktekannya dalam riyadhah dengan menahan apa yang memang kita inginkan. Justru ketika kita menginginkan sesuatu, tahanlah keinginan itu. Mereka ambil hadis Nabi sebagai rujukan "Makanlah sebelum lapar, dan berhentilah sebelum kenyang." sebagai analogi untuk latihan mengendalikan keinginan ini. Inilah jihad terbesar kita.

Ala ya ayyuha al-syaqi, adir ka 'san wa nawilha Keh 'isyq oson namud awwal, wali uftod-e musykilha
Agar az u khohi, ghafil masyu Hafiz, Mata ma talqi man tahwa da'i al-dunya wa hawilha
Duhai pencari minuman, letakkan cawanmu dan teguklah. Sungguh cinta itu mudah dipermulaan, tapi kesulitan menerjangnya
Kalau Dia yang kuinginkan, janganlah lalai sekejap mata pun. Ketika sampai pada dambamu, tinggalkanlah dunia dan ubahlah ia.

***

Hukum Bekerja Di Bank Yg Mengamalkan Riba

________________________________________

Ini adalah Fatwa Muasarah Dr. Yusuf Al-Qardhawi

Sistem ekonomi dalam Islam ditegakkan pada asas memerangi riba dan menganggapnya sebagai dosa besar yang dapat menghapuskan berkah dari individu dan masyarakat, bahkan dapat mendatangkan bencana di dunia dan di akhirat. Hal ini telah dijelaskan di dalam Al Qur'an dan As Sunnah serta telah disepakati oleh umat.

firman Allah Ta'ala :

"Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa." (Al Baqarah: 276)

"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketabuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu ..." (Al Baqarah: 278-279)

Rasulullah saw. bersabda

"Apabila zina dan riba telah merajalela di suatu negeri, berarti mereka telah menyediakan diri mereka untuk disiksa oleh Allah." (hari Hakim)

Dalam peraturan dan tuntunannya Islam menyuruh umatnya agar memerangi kemaksiatan. Apabila tidak sanggup, minimal ia harus menahan diri agar perkataan maupun perbuatannya tidak terlibat dalam kemaksiatan itu.

Karena itu Islam mengharamkan semua bentuk kerja sama atas dosa dan permusuhan, dan menganggap setiap orang yang membantu kemaksiatan bersekutu dalam dosanya bersama pelakunya, baik pertolongan itu dalam bentuk moral ataupun material, perbuatan ataupun perkataan.



Jabir bin Abdillah .a. meriwayatkan:

"Rasulullah melaknat pemakan riba, yang memberi makan dengan hasil riba, dan dua orang yang menjadi saksinya." Dan beliau bersabda: "Mereka itu sama." (hari Muslim)

Ibnu Mas'ud meriwayatkan:

"Rasulullah saw. melaknat orang yang makan riba dan yang memberi makan dari hasil riba, dua orang saksinya, dan penulisnya." (hari Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah, dan Tirmidzi)

Sementara itu, dalam riwayat lain disebutkan:

"Orang yang makan riba, orang yang memberi makan dengan riba, dan dua orang saksinya --jika mereka mengetahui hal itu-- maka mereka itu dilaknat lewat lisan Nabi Muhammad saw. hingga hari kiamat." (hari Nasa'i)

Hadits-hadits sahih yang shorih itulah yang menyiksa hati orang-orang Islam yang bekerja di bank-bank atau syirkah (persekutuan) yang aktivitinya tidak lepas dari tulis-menulis dan bunga riba.

Namun perlu diperhatikan bahwa masalah riba ini tidak hanya berkaitan dengan pegawai bank atau penulisnya pada berbagai syirkah, tetapi hal ini sudah menyusup ke dalam sistem ekonomi kita dan semua kegiatan yang berhubungan dengan keuangan, sehingga merupakan bencana umum sebagaimana yang diperingatkan Rasulullah saw.:

"Sungguh akan datang pada manusia suatu masa yang pada waktu itu tidak tersisa seorangpun melainkan akan makan riba; barangsiapa yang tidak memakannya maka ia akan terkena debunya." (hari Abu Daud dan Ibnu Majah)

Keadaan seperti ini tidak dapat diubah dan diperbaiki hanya dengan melarang seseorang bekerja di bank atau perusahaan yang mempraktekkan riba. Tetapi kerusakan sistem ekonomi yang disebabkan oleh golongan kapitalis ini hanya dapat diubah oleh sikap seluruh bangsa dan masyarakat Islam.

Perubahan itu tentu saja harus diusahakan secara bertahap dan perlahan-lahan sehingga tidak menimbulkan guncangan perekonomian yang dapat menimbulkan bencana pada negara dan bangsa.

Islam sendiri tidak melarang umatnya untuk melakukan perubahan secara bertahap dalam memecahkan setiap permasalahan yang pelik. Cara ini pernah ditempuh Islam ketika mulai mengharamkan riba, khamar, dan lainnya. Dalam hal ini yang terpenting adalah tekad dan kemauan bersama, apabila tekad itu telah bulat maka jalan pun akan terbuka lebar.

Setiap muslim yang mempunyai kepedulian akan hal ini hendaklah bekerja dengan hatinya, lisannya, dan segenap kemampuannya melalui berbagai wasilah (sarana) yang tepat untuk mengembangkan sistem perekonomian kita sendiri, sehingga sesuai dengan ajaran Islam. Sebagai contoh perbandingan, di dunia ini terdapat beberapa negara yang tidak memberlakukan sistem riba, yaitu mereka yang berpaham sosialis.

Di sisi lain, apabila kita melarang semua muslim bekerja di bank, maka dunia perbankan dan sejenisnya akan dikuasai oleh orang-orang nonmuslim seperti Yahudi dan sebagainya. Pada akhirnya, negara-negara Islam akan dikuasai mereka.

Terlepas dari semua itu, perlu juga diingat bahwa tidak semua pekerjaan yang berhubungan dengan dunia perbankan tergolong riba. Ada diantaranya yang halal dan baik, seperti kegiatan perpialangan, penitipan, dan sebagainya; bahkan sedikit pekerjaan di sana yang termasuk haram. Oleh karena itu, tidak mengapalah seorang muslim menerima pekerjaan tersebut --meskipun hatinya tidak rela-- dengan harapan tata perekonomian akan mengalami perubahan menuju keadaan yang diridhai agama dan hatinya.

Hanya saja, dalam hal ini hendaklah ia melaksanakan tugasnya dengan baik, hendaklah menunaikan kewajiban terhadap dirinya dan Rabb-nya beserta umatnya sambil menantikan pahala atas kebaikan niatnya:

"Sesungguhnya setiap orang memperoleh apa yang ia niatkan." (hari Bukhari)

Sebelum saya tutup fatwa ini janganlah kita melupakan keperluan hidup yang oleh para fuqaha diistilahkan telah mencapai tingkatan darurat. Keadaan inilah yang mengharuskan saudara penanya untuk menerima pekerjaan tersebut sebagai sarana mencari penghidupan dan rezeki, sebagaimana firman Allah SWT:

"... Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Al Baqarah: 173}

Wallahua'lam

***

Rabu, 29 Juli 2009

Entrepreunership Rosul

Bismillaahirrohmaanirohiim

Dan tolong-menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan takwa dan janganlah kamu tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksanya." (QS. Al-Maidah: 2)

Rasulullah SAW bersabda: "Sesungguhnya Allah SWT suka kepada hamba yang berkarya dan terampil. Barang siapa bersusah payah mencari nafkah untuk keluarganya, maka dia serupa dengan seorang mujahid fisabilillah." (HR.Imam Ahmad)

Rasul Adalah seorang entrepreunership atau wirausahawan.

Mulai usia 8 tahun 2 bulan sudah mulai menggembalakan kambing. Pada usia 12 tahun berdagang sebagai kafilah ke negeri Syiria dan pada usia 25 tahun Rasul menikahi Khadijah dengan mahar 20 ekor unta muda. Ini menunjukan bahwa Rasul merupakan seorang wirausahawan yang sukses.

Jiwa wirausaha harus benar-benar ditanamkan dari kecil, karena kalau tidak maka potensi apapun tidak bisa dibuat menjadi manfaat.

Prinsip dari wirausahawan adalah memanfaatkan segala macam benda menjadi bermanfaat.

Tidak ada kegagalan dalam berusaha, yang gagal yaitu yang tidak pernah mencoba berusaha.

Gagal merupakan informasi menuju sukses, keuntungan bukan hanya untung untuk diri sendiri tapi juga untuk orang lain.

Kredibilitas diri kita adalah modal utama dalam berwira usaha, dengan menahan diri untuk tidak menikmati kebahagiaan orang lain sebagai keberuntungan kita.

Jual beli bukan hanya transaksi uang dan barang, tapi jual beli harus dijadikan amal soleh yaitu dengan niat dan cara yang benar.

Uang yang tidak barokah tidak akan dapat memberi ketenangan, walau sebanyak apapun akan tetap kekurangan dan akan membuat kita hina.

Berjualan dengan akhlak yang mulia, pembeli tidak hanya mendapat fasilitas dan tidak hanya mendapatkan barang tapi juga melihat kemuliaan akhlak seorang penjual.

Semoga Bermanfaat

***

Selasa, 28 Juli 2009

إسمي أيمن - Adab-adab seorang muslimah

إسمي أيمن - Adab-adab seorang muslimah

Adab-Adab Seorang Muslimah

Wanita telah ditinggikan kemuliaannya dengan kedatangan agama Islam melalui wahyu yang telah diturunkan kepada para rasul. Anda tentu sudah tidak asing dengan cerita khalifah Islam yang kedua iaitu Saidina Umar Al-Khattab yang menanam hidup-hidup anak perempuannya kerana kepercayaan pada zaman tersebut bahawa anak perempuan hanya akan membawa nasib malang pada keluarga dan anda juga tentu biasa melihat bagaimana kemelut dalam filem-filem tamil apabila seorang ayah yang ingin mengahwinkan anak perempuannya terpaksa memikirkan tentang wang hantaran yang perlu diberi pada pihak pengantin lelaki. Segalanya tidak lain tidak bukan, hanya meletakkan wanita sebagai serendah-rendah makhluk yang berada di muka bumi ini. Namun, kedatangan syariat Islam menenggelamkan segala kezaliman yang sekian lama wujud ini.

Menurut Profesor Dr Yusof Al-Qardhawi dalam kitabnya yang bertajuk Sistem Masyarakat Islam dalam Al-Quran Sunnah, beliau menyebut bahawa Islam telah menghargai kewanitaan wanita dan Islam menganggap wanita sebagai unsur penyempurna bagi kaum lelaki, sebagaimana lelaki juga penyempurna bagi wanita. Maka bukanlah antara satu sama lain dari mereka itu sebagai musuh, bukan pula sebagai saingan, akan tetapi wanita sebagai penolong bagi kaum lelaki untuk menyempurnaan keperibadian dan jenisnya, dan sebaliknya. Oleh kerana perkaitan yang erat antara lelaki dan wanita inilah Islam memperlakukan wanita dengan baik tanpa merendahkan dan menghina mereka.

Sesuai dengan kesucian dan kesempurnaan ajaran Islam, maka wujudlah garispanduan yang perlu diikuti oleh kaum wanita itu sendiri bagi melindungi diri mereka daripada terlibat dengan fitnah bahkan menjadi sumber fitnah dalam menjalani kehidupan mereka sebagai seorang muslimah. Walaupun dikatakan agama Islam telah menyusunatur kehidupan seorang wanita supaya dilindungi sepenuhnya sepanjang usia mereka, (bermula daripada menjadi tanggungjawab bapa, kepada menjadi tanggungjawab suami, sehinggalah menjadi tanggungjawab anak-anak lelaki mereka), kaum wanita seharusnya bijak membezakan antara perkara yang menjadi tanggungjawab dan apabila diri mereka menjadi tanggungjawab orang lain. Saya ingin katakan di sini adalah kaum wanitalah seharusnya peka dengan tuntutan-tuntutan syariat Islam sekiranya ingin menjalani kehidupan yang tenang di dunia dan di akhirat, walaupun ada insan lain yang dipertanggungjawabk an menjaga diri mereka.

Bagi membantu para muslimah sekalian, di sini saya cuba menyenaraikan apakah adab-adab atau garispanduan yang perlu diikuti oleh seorang muslimah dalam kehidupan mereka terutamanya apabila berada jauh daripada penjagaan keluarga ataupun suami berdasarkan penulisan Profesor Yusof Al-Qardhawi.

Pertama. Memelihara pandangan matanya dan memelihara kesuciannya, sebagaimana firman Allah SWT

"Katakanlah kepada wanita yang beriman, 'Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya. ..'" (An Nur: 31)

Kedua. Menutup aurat dan perhiasannya dengan baik, tidak berpakaian terlalu sempit dan menjolok mata. Allah SWT berfirman

“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya, dan hendaklah mereka menutupkan kain jilbabnya ke dadanya."
(An Nur: 31)

Ketiga. Hendaknya jangan menampakkan perhiasannya yang tersamar, seperti rambut, leher, kedua lengan dan kedua betis kecuali kepada suaminya atau muhrimnya. Allah SWT berfirman

“Dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan lelaki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. . ." (An-Nur: 31)

Keempat. Hendaklah bersopan dalam berjalan dan berbicara. Allah SWT berfirman.

“Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan ... " (An-Nur: 31)

“Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit di dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik." (Al Ahzab: 32)

Kelima. Hendaklah ia menjauhi segala sesuatu yang menarik perhatian lelaki dari dirinya seperti berdandan (tabarruj) dengan dandanan ala jahiliyah. kerana ini bukanlah akhlaq seorang wanita yang bersih. Rasulullah SAW bersabda:

“Siapa saja wanita yang memakai wangi-wangian, kemudian keluar dari rumahnya agar dicium baunya oleh orang maka ia berzina." (HR. Abu Dawud)

Maksudnya seakan ia berbuat zina, meskipun ia tidak berbuat demikian, maka wajib atas wanita menjauhi perilaku seperti itu

Keenam. Wanita dilarang berduaan dengan lelaki lain yang bukan suaminya dan bukan muhrimnya, hal itu untuk memelihara dirinya dan diri orang lain dari bisikan-bisikan dosa dan memelihara dirinya dari berita-berita bohong. Nabi SAW bersabda

“Jangan sekali-kali seseorang itu bersepi-sepi dengan seorang wanita kecuali dengan muhrimnya" (HR. Muttafaqun 'Alaih)

Ketujuh. Jangan berikhtilath dengan kaum lelaki lain kecuali kerana keperluan yang terpaksa dan kemaslahatan yang dibenarkan dan dilakukan dengan seperlunya, seperti solat di masjid, menuntut ilmu, berta'awun untuk kebaikan dan ketaqwaan, yang tidak terlarang bagi wanita itu untuk ikut serta dalam memberi pelayanan kepada masyarakat, tetapi jangan lupa batas-batas syari'at dalam bertemu dengan lelaki.

Begitulah antara adab-adab yang perlu diamalkan dalam kehidupan seorang wanita muslimah. Islam telah mengatur kehidupan muslimah dengan sempurna agar terhindar dari sebarang tipu daya. Jadi kepada para muslimah sekalian, saya ingin berpesan kepada anda dan diri saya sendiri, jagalah maruah anda kerana maruah merupakan cermin diri kita.

***

Menikah, Kenapa Takut?

Kita hidup di zaman yang mengajarkan pergaulan bebas, menonjolkan aurat, dan mempertontonkan perzinaan. Bila mereka berani kepada Allah dengan melakukan tindakan yang tidak hanya merusak diri, melainkan juga menghancurkan institusi rumah tangga, mengapa kita takut untuk mentaati Allah dengan membangun rumah tangga yang kokoh? Bila kita beralasan ada resiko yang harus dipikul setelah menikah, bukankah perzinaan juga punya segudang resiko? Bahkan resikonya lebih besar. Bukankankah melajang ada juga resikonya?

Hidup, bagaimanapun adalah sebuah resiko. Mati pun resiko. Yang tidak ada resikonya adalah bahwa kita tidak dilahirkan ke dunia. Tetapi kalau kita berpikir bagaimana lari dari resiko, itu pemecahan yang mustahil. Allah tidak pernah mengajarkan kita agar mencari pemecahan yang mustahil. Bila ternyata segala sesuatu ada resikonya, maksiat maupun taat, mengapa kita tidak segera melangkah kepada sikap yang resikonya lebih baik? Sudah barang tentu bahwa resiko pernikahan lebih baik daripada resiko pergaulan bebas (baca: zina). Karenanya Allah mengajarkan pernikahan dan menolak perzinaan.

Saya sering ngobrol, dengan kawaan-kawan yang masih melajang, padahal ia mampu untuk menikah. Setelah saya kejar alasannya, ternyata semua alasan itu tidak berpijak pada fondasi yang kuat: ada yang beralasan untuk mengumpulkan bekal terlebih dahulu, ada yang beralasan untuk mencari ilmu dulu, dan lain sebagainya. Berikut ini kita akan mengulas mengenai mengapa kita harus segera menikah? Sekaligus di celah pembahasan saya akan menjawab atas beberapa alasan yang pernah mereka kemukakan untuk membenarkan sikap.

Menikah itu Fitrah

Allah Taala menegakkan sunnah-Nya di alam ini atas dasar berpasang-pasangan. Wa min kulli syai’in khalaqnaa zaujain, dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan (Adz-Dzariyaat: 49). Ada siang ada malam, ada laki ada perempuan. Masing-masing memerankan fungsinya sesuai dengan tujuan utama yang telah Allah rencanakan. Tidak ada dari sunnah tersebut yang Allah ubah, kapanpun dan di manapun berada. Walan tajida lisunnatillah tabdilla, dan kamu sekali-kali tidak akan mendapati perubahan pada sunnah Allah (Al-Ahzab: 62). Walan tajida lisunnatillah tahwiila, dan kamu tidak akan mendapati perubahan bagi ketetapan kami itu. (Al-Isra: 77)

Dengan melanggar sunnah itu berarti kita telah meletakkan diri pada posisi bahaya. Karena tidak mungkin Allah meletakkan sebuah sunnah tanpa ada kesatuan dan keterkaitan dengan sIstem lainnya yang bekerja secara sempurna secara universal.

Manusia dengan kecanggihan ilmu dan peradabannya yang dicapai, tidak akan pernah mampu menggantikan sunnah ini dengan cara lain yang dikarang otaknya sendiri. Mengapa? Sebab, Allah swt. telah membekali masing-masing manusia dengan fitrah yang sejalan dengan sunnah tersebut. Melanggar sunnah artinya menentang fitrahnya sendiri.

Bila sikap menentang fitrah ini terus-menerus dilakukan, maka yang akan menanggung resikonya adalah manusia itu sendiri. Secara kasat mata, di antara yang paling tampak dari rahasia sunnah berpasang-pasangan ini adalah untuk menjaga keberlangsungan hidup manusia dari masa ke masa sampai titik waktu yang telah Allah tentukan. Bila institusi pernikahan dihilangkan, bisa dipastikan bahwa mansuia telah musnah sejak ratusan abad yang silam.

Mungkin ada yang nyeletuk, tapi kalau hanya untuk mempertahankan keturunan tidak mesti dengan cara menikah. Dengan pergaulan bebas pun bisa. Anda bisa berkata demikian. Tetapi ada sisi lain dari fitrah yang juga Allah berikan kepada masing-masing manusia, yaitu: cinta dan kasih sayang, mawaddah wa rahmah. Kedua sisi fitrah ini tidak akan pernah mungkin tercapai dengan hanya semata pergaulan bebas. Melainkan harus diikat dengan tali yang Allah ajarkan, yaitu pernikahan. Karena itulah Allah memerintahkan agar kita menikah. Sebab itulah yang paling tepat menurut Allah dalam memenuhi tuntutan fitrah tersebut. Tentu tidak ada bimbingan yang lebih sempurna dan membahagiakan lebih dari daripada bimbingan Allah.

Allah berfirman fankihuu, dengan kata perintah. Ini menunjukan pentingnya hakikat pernikahan bagi manusia. Jika membahayakan, tidak mungkin Allah perintahkan. Malah yang Allah larang adalah perzinaan. Walaa taqrabuzzina, dan janganlah kamu mendekati zina (Al-Israa: 32). Ini menegaskan bahwa setiap yang mendekatkan kepada perzinaan adalah haram, apalagi melakukannya. Mengapa? Sebab Allah menginginkan agar manusia hidup bahagia, aman, dan sentosa sesuai dengan fitrahnya.

Mendekati zina dengan cara apapun, adalah proses penggerogotan terhadap fitrah. Dan sudah terbukti bahwa pergaulan bebas telah melahirkan banyak bencana. Tidak saja pada hancurnya harga diri sebagai manusia, melainkan juga hancurnya kemanusiaan itu sendiri. Tidak jarang kasus seorang ibu yang membuang janinnya ke selokan, ke tong sampah, bahkan dengan sengaja membunuhnya, hanya karena merasa malu menggendong anaknya dari hasil zina.

Perhatikan bagaimanan akibat yang harus diterima ketika institusi pernikahan sebagai fitrah diabaikan. Bisa dibayangkan apa akibat yang akan terjadi jika semua manusia melakukan cara yang sama. Ustadz Fuad Shaleh dalam bukunya liman yuridduz zawaj mengatakan, “Orang yang hidup melajang biasanya sering tidak normal: baik cara berpikir, impian, dan sikapnya. Ia mudah terpedaya oleh syetan, lebih dari mereka yang telah menikah.”

Menikah Itu Ibadah

Dalam surat Ar-Rum: 21, Allah menyebutkan pentingnya mempertahankan hakikat pernikahan dengan sederet bukti-bukti kekuasaan-Nya di alam semesta. Ini menunjukkan bahwa dengan menikah kita telah menegakkan satu sisi dari bukti kekusaan Allah swt. Dalam sebuah kesempatan Rasulullah saw. lebih menguatkan makna pernikahan sebagai ibadah, “Bila seorang menikah berarti ia telah melengkapi separuh dari agamanya, maka hendaknya ia bertakwa kepada Allah pada paruh yang tersisa.” (HR. Baihaqi, hadits Hasan)

Belum lagi dari sisi ibadah sosial. Dimana sebelum menikah kita lebih sibuk dengan dirinya, tapi setelah menikah kita bisa saling melengkapi, mendidik istri dan anak. Semua itu merupakan lapangan pahala yang tak terhingga. Bahkan dengan menikah, seseorang akan lebih terjaga moralnya dari hal-hal yang mendekati perzinaan. Alquran menyebut orang yang telah menikah dengan istilah muhshan atau muhshanah (orang yang terbentengi). Istilah ini sangat kuat dan menggambarkan bahwa kepribadian orang yang telah menikah lebih terjaga dari dosa daripada mereka yang belum menikah.

Bila ternyata pernikahan menunjukkan bukti kekuasan Allah, membantu tercapainya sifat takwa. dan menjaga diri dari tindakan amoral, maka tidak bisa dipungkiri bahwa pernikahan merupakan salah satu ibadah yang tidak kalah pahalanya dengan ibadah-ibadah lainnya. Jika ternyata Anda setiap hari bisa menegakkan ibadah shalat, dengan tenang tanpa merasa terbebani, mengapa Anda merasa berat dan selalu menunda untuk menegakkan ibadah pernikahan, wong ini ibadah dan itupun juga ibadah.

Pernikahan dan Penghasilan

Seringkali saya mendapatkan seorang jejaka yang sudah tiba waktu menikah, jika ditanya mengapa tidak menikah, ia menjawab belum mempunyai penghasilan yang cukup. Padahal waktu itu ia sudah bekerja. Bahkan ia mampu membeli motor dan HP. Tidak sedikit dari mereka yang mempunyai mobil. Setiap hari ia harus memengeluarkan biaya yang cukup besar dari penggunakan HP, motor, dan mobil tersebut. Bila setiap orang berpikir demikian apa yang akan terjadi pada kehidupan manusia?

Saya belum pernah menemukan sebuah riwayat yang menyebutkan bahwa Rasulullah saw. melarang seorang sahabatnya yang ingin menikah karena tidak punya penghasilan. Bahkan dalam beberapa riwayat yang pernah saya baca, Rasulullah saw. bila didatangi seorang sahabatnya yang ingin menikah, ia tidak menanyakan berapa penghasilan yang diperoleh perbulan, melainkan apa yang ia punya untuk dijadikan mahar. Mungkin ia mempunyai cincin besi? Jika tidak, mungkin ada pakaiannya yang lebih? Jika tidak, malah ada yang hanya diajarkan agar membayar maharnya dengan menghafal sebagian surat Alquran.

Apa yang tergambar dari kenyatan tersebut adalah bahwa Rasulullah saw. tidak ingin menjadikan pernikahan sebagai masalah, melainkan sebagai pemecah persoalan. Bahwa pernikahan bukan sebuah beban, melainkan tuntutan fitrah yang harus dipenuhi. Seperti kebutuhan Anda terhadap makan, manusia juga butuh untuk menikah. Memang ada sebagian ulama yang tidak menikah sampai akhir hayatnya seperti yang terkumpul dalam buku Al-ulamaul uzzab alladziina aatsarul ilma ‘alaz zawaj. Tetapi, itu bukan untuk diikuti semua orang. Itu adalah perkecualian. Sebab, Rasulullah saw. pernah melarang seorang sahabatanya yang ingin hanya beribadah tanpa menikah, lalu menegaskan bahwa ia juga beribadah tetapi ia juga menikah. Di sini jelas sekali bagaimana Rasulullah saw. selalu menuntun kita agar berjalan dengan fitrah yang telah Allah bekalkan tanpa merasakan beban sedikit pun.

Memang masalah penghasilan hampir selalu menghantui setiap para jejaka muda maupun tua dalam memasuki wilayah pernikahan. Sebab yang terbayang bagi mereka ketika menikah adalah keharusan membangun rumah, memiliki kendaraan, mendidik anak, dan seterusnya di mana itu semua menuntut biaya yang tidak sedikit. Tetapi kenyataannya telah terbukti dalam sejarah hidup manusia sejak ratusan tahun yang lalu bahwa banyak dari mereka yang menikah sambil mencari nafkah. Artinya, tidak dengan memapankan diri secara ekonomi terlebih dahulu. Dan ternyata mereka bisa hidup dan beranak-pinak. Dengan demikian kemapanan ekonomi bukan persyaratan utama bagi sesorang untuk memasuki dunia pernikahan.

Mengapa? Sebab, ada pintu-pintu rezeki yang Allah sediakan setelah pernikahan. Artinya, untuk meraih jatah rezki tersebut pintu masuknya menikah dulu. Jika tidak, rezki itu tidak akan cair. Inilah pengertian ayat iyyakunu fuqara yughnihimullahu min fadhlihi wallahu waasi’un aliim, jika mereka miskin Allah akan mampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas lagi Maha mengetahui (An-Nur: 32). Ini adalah jaminan langsung dari Allah, agar masalah penghasilan tidak dikaitkan dengan pernikahan. Artinya, masalah rezki satu hal dan pernikahan hal yang lain lagi.

Abu Bakar Ash-Shidiq ketika menafsirkan ayat itu berkata, “Taatilah Allah dengan menikah. Allah akan memenuhi janjinya dengan memberimu kekayaan yang cukup.” Al-Qurthubi berkata, “Ini adalah janji Allah untuk memberikan kekayaan bagi mereka yang menikah untuk mencapai ridha Allah, dan menjaga diri dari kemaksiatan.” (lihat Tafsirul Quthubi, Al Jami’ liahkamil Qur’an juz 12 hal. 160, Darul Kutubil Ilmiah, Beirut).

Rasulullah saw. pernah mendorong seorang sahabatnya dengan berkata, “Menikahlah dengan penuh keyakinan kepada Allah dan harapan akan ridhaNya, Allah pasti akan membantu dan memberkahi.” (HR. Thabarni). Dalam hadits lain disebutkan: Tiga hal yang pasti Allah bantu, di antaranya: “Orang menikah untuk menjaga diri dari kemaksiatan.” (HR. Turmudzi dan Nasa’i)

Imam Thawus pernah berkata kepada Ibrahim bin Maysarah, “Menikahlah segera, atau saya akan mengulang perkataan Umar Bin Khattab kepada Abu Zawaid: Tidak ada yang menghalangimu dari pernikahaan kecuali kelemahanmu atau perbuatan maksiat.” (lihat Siyar A’lamun Nubala’ oleh Imam Adz Dzahaby). Ini semua secara makna menguatkan pengertian ayat di atas. Di mana Allah tidak akan pernah membiarkan hamba-Nya yang bertakwa kepada Allah dengan membangun pernikahan.

Persoalannya sekarangan, mengapa banyak orang berkeluarga yang hidup melarat? Kenyataan ini mungkin membuat banyak jejaka berpikir dua kali untuk menikah. Dalam masalah nasib kita tidak bisa mengeneralisir apa yang terjadi pada sebagian orang. Sebab, masing-masing ada garis nasibnya. Kalau itu pertanyaanya, kita juga bisa bertanya: mengapa Anda bertanya demikian? Bagaimana kalau Anda melihat fakta yang lain lagi bahwa banyak orang yang tadinya melarat dan ternyata setelah menikah hidupnya lebih makmur? Dari sini bahwa pernikahan bukan hambatan, dan kemapanan penghasilan bukan sebuah persyaratan utama.

Yang paling penting adalah kesiapan mental dan kesungguhan untuk memikul tanggung jawab tersebut secara maksimal. Saya yakin bahwa setiap perbuatan ada tanggung jawabnya. Berzina pun bukan berarti setelah itu selesai dan bebas tanggungjawab. Melainkan setelah itu ia harus memikul beban berat akibat kemaksiatan dan perzinaan. Kalau tidak harus mengasuh anak zina, ia harus menanggung dosa zina. Keduanya tanggung jawab yang kalau ditimbang-timbang, tidak kalah beratnya dengan tanggung jawab pernikahan.

Bahkan tanggung jawab menikah jauh lebih ringan, karena masing-masing dari suami istri saling melengkapi dan saling menopang. Ditambah lagi bahwa masing-masing ada jatah rezekinya yang Allah sediakan. Tidak jarang seorang suami yang bisa keluar dari kesulitan ekonomi karena jatah rezeki seorang istri. Bahkan ada sebuah rumah tangga yang jatah rezekinya ditopang oleh anaknya. Perhatikan bagaimana keberkahan pernikahan yang tidak hanya saling menopang dalam mentaati Allah, melainkan juga dalam sisi ekonomi.

Pernikahan dan Menuntut Ilmu

Seorang kawan pernah mengatakan, ia ingin mencari ilmu terlebih dahulu, baru setelah itu menikah. Anehnya, ia tidak habis-habis mencari ilmu. Hampir semua universitas ia cicipi. Usianya sudah begitu lanjut. Bila ditanya kapan menikah, ia menjawab: saya belum selesai mencari ilmu.

Ada sebuah pepatah diucapkan para ulama dalam hal mencari ilmu: lau anffaqta kullaha lan tashila illa ilaa ba’dhiha, seandainya kau infakkan semua usiamu –untuk mencari ilmu–, kau tidak akan mendapatkannya kecuali hanya sebagiannya. Dunia ilmu sangat luas. Seumur hidup kita tidak akan pernah mampu menelusuri semua ilmu. Sementara menikah adalah tuntutan fitrah. Karenanya, tidak ada aturan dalam Islam agar kita mencari ilmu dulu baru setelah itu menikah.

Banyak para ulama yang menikah juga mencari ilmu. Benar, hubungan mencari ilmu di sini sangat berkait erat dengan penghasilan. Tetapi banyak sarjana yang telah menyelesaikan program studinya bahkan ada yang sudah doktor atau profesor, tetapi masih juga pengangguran dan belum mendapatkan pekerjaan. Artinya, menyelesaikan periode studi juga bukan jaminan untuk mendapatkan penghasilan. Sementara pernikahan selalu mendesak tanpa semuanya itu. Di dalam Alquran maupun Sunnah, tidak ada tuntunan keharusan menunda pernikahan demi mencari ilmu atau mencari harta. Bahkan, banyak ayat dan hadits berupa panggilan untuk segera menikah, terlepas apakah kita sedang mencari ilmu atau belum mempunyai penghasilan.

Berbagai pengalaman membuktikan bahwa menikah tidak menghalangi seorang dalam mencari ilmu. Banyak sarjana yang berhasil dalam mencari ilmu sambil menikah. Begitu juga banyak yang gagal. Artinya, semua itu tergantung kemauan orangnya. Bila ia menikah dan tetap berkemauan tinggi untuk mencari ilmu, ia akan berhasil. Sebaliknya, jika setelah menikah kemauannya mencari ilmu melemah, ia gagal. Pada intinya, pernikahan adalah bagian dari kehidupan yang harus juga mendapatkan porsinya. Perjuangan seseorang akan lebih bermakna ketika ia berjuang juga menegakkan rumah tungga yang Islami.

Rasulullah saw. telah memberikan contoh yang sangat mengagumkan dalam masalah pernikahan. Beliau menikah dengan sembilan istri. Padahal beliau secara ekonmi bukan seorang raja atau konglomerat. Tetapi semua itu Rasulullah jalani dengan tenang dan tidak membuat tugas-tugas kerasulannya terbengkalai. Suatu indikasi bahwa pernikahan bukan hal yang harus dipermasalahkan, melainkan harus dipenuhi. Artinya, seorang yang cerdas sebenarnya tidak perlu didorong untuk menikah, sebab Allah telah menciptakan gelora fitrah yang luar biasa dalam dirinya. Dan itu tidak bisa dipungkiri. Masing-masing orang lebih tahu dari orang lain mengenai gelora ini. Dan ia sendiri yang menanggung perih dan kegelisahan gelora ini jika ia terus ditahan-tahan.

Untuk memenuhi tuntutan gelora itu, tidak mesti harus selesai study dulu. Itu bisa ia lakukan sambil berjalan. Kalaupun Anda ingin mengambil langkah seperti para ulama yang tidak menikah (uzzab) demi ilmu, silahkan saja. Tetapi apakah kualitas ilmu Anda benar-benar seperti para ulama itu? Jika tidak, Anda telah rugi dua kali: ilmu tidak maksimal, menikah juga tidak. Bila para ulama uzzab karena saking sibuknya dengan ilmu sampai tidak sempat menikah, apakah Anda telah mencapai kesibukan para ulama itu sehingga Anda tidak ada waktu untuk menikah? Dari sini jika benar-benar ingin ikut jejak ulama uzzab, yang diikuti jangan hanya tidak menikahnya, melainkan tingkat pencapaian ilmunya juga. Agar seimbang.

Kesimpulan

Sebenarnya pernikahan bukan masalah. Menikah adalah jenjang yang harus dilalui dalam kondisi apapun dan bagaimanapun. Ia adalah sunnatullah yang tidak mungkin diganti dengan cara apapun. Bila Rasulullah menganjurkan agar berpuasa, itu hanyalah solusi sementara, ketika kondisi memang benar-benar tidak memungkinkan. Tetapi dalam kondisi normal, sebenarnya tidak ada alasan yang bisa dijadikan pijakan untuk menunda pernikahan.

Agar pernikahan menjadi solusi alternatif, mari kita pindah dari pengertian “pernikahan sebagai beban” ke “pernikahan sebagai ibadah”. Seperti kita merasa senang menegakkan shalat saat tiba waktunya dan menjalankan puasa saat tiba Ramadhan, kita juga seharusnya merasa senang memasuki dunia pernikahan saat tiba waktunya dengan tanpa beban. Apapun kondisi ekonomi kita, bila keharusan menikah telah tiba “jalani saja dengan jiwa tawakkal kepada Allah”. Sudah terbukti, orang-orang bisa menikah sambil mencari nafkah. Allah tidak akan pernah membiarkan hambaNya yang berjuang di jalanNya untuk membangun rumah tangga sejati.

Perhatikan mereka yang suka berbuat maksiat atau berzina. Mereka begitu berani mengerjakan itu semua padahal perbuatan itu tidak hanya dibenci banyak manusia, melainkan lebih dari itu dibenci Allah. Bahkan Allah mengancam mereka dengan siksaan yang pedih. Melihat kenyataan ini, seharusnya kita lebih berani berlomba menegakkan pernikahan, untuk mengimbangi mereka. Terlebih Allah menjanjikan kekayaan suatu jaminan yang luar biasa bagi mereka yang bertakwa kepada-Nya dengan membangun pernikahan.
Wallahu a’lam bishshawab.

***

Suami Dambaan Para Bidadari

Aku benar-benar melihat malaikat sedang memandikan Hanzhalah di antara langit dan bumi dengan air dari awan dalam sebuah tempat besar terbuat dari perak.” Sahabat Urwah ra menegaskan kesaksiannya tentang kesyahidan Hanzhalah di perang Uhud.

Mekkah menggelegak terbakar kebencian terhadap orang-orang Muslim karena kekalahan mereka di Perang Badar dan terbunuhnya sekian banyak pemimpin dan bangsawan mereka saat itu. Hati mereka membara dibakar keinginan untuk menuntut balas. Bahkan karenanya Quraisy melarang semua penduduk Mekah meratapi para korban di Badar dan tidak perlu terburu-buru menebus para tawanan, agar orang-orang Muslim tidak merasa di atas angin karena tahu kegundahan dan kesedihan hati mereka.

Hingga tibalah saatnya Perang Uhud. Di antara pahlawan perang yang bertempur tanpa mengenal rasa takut pada waktu itu adalah Hanzhalah bin Abu Amir. Nama lengkapnya Hanzhalah bin Abu ‘Amir bin Shaifi bin Malik bin Umayyah bin Dhabi’ah bin Zaid bin Uaf bin Amru bin Auf bin Malik al-Aus al-Anshory al-Ausy. Pada masa jahiliyah ayahnya dikenal sebagai seorang pendeta, namanya Amru.

Suatu hari ayahnya ditanya mengenai kedatangan Nabi dan sifatnya hingga ketika datang, orang-orang dengan mudahnya dapat mengenalnya. Ayahnya pun menyebutkan apa yang ditanyakan. Bahkan secara terang-terangan dirinya akan beriman dengan kenabian itu. Ketika Allah turunkan Islam di jazirah Arab untuk menuntun jalan kebenaran melalui nabi terakhir. Justru dirinya mengingkarinya. Bahkan dirinya hasud dengan kenabian Muhammad. Tak lama kemudian Allah bukakan hati anaknya, Hanzhalah untuk menerima kebenaran yang dibawa Rasulullah. Sejak itulah jiwa dan raganya untuk perjuangan Islam.

Kebencian ayahnya terhadap Rasulullah membuat darahnya naik turun. Bahkan meminta izin Rasulullah untuk membunuhnya. Tapi Rasulullah tidak mengizinkan. Sejak itulah keyakinan akan kebenaran ajaran Islam semakin menancap di relung hatinya. Seluruh waktunya digunakan untuk menimba ilmu dari Rasulullah.

Di tengah kesibukkannya mengikuti da’wah Rasulullah yang penuh dinamika, tak terasa usia telah menghantarkannya untuk memasuki fase kehidupan berumah tangga. Disamping untuk melakukan regenerasi, tentu ada nikmat karunia Allah yang tak mungkin terlewatkan.

Hanzhalah menikahi Jamilah binti Abdullah bin Ubay bin Salul, anak sahabat bapaknya. Mertuanya itu dikenal sebagai tokoh munafik, menyembunyikan kekafiran dan menampakkan keimanan. Dia berpura-pura membela Nabi saw dalam Perang Uhud; namun ketika rombongan pasukan muslim bergerak ke medan laga, ia menarik diri bersama orang-orangnya, kembali ke Madinah.

Sementara itu Madinah dalam keadaan siaga penuh. Kaum muslimin sudah mencium gelagat dan gerak-gerik rencana penyerangan oleh pasukan Abu Shufyan. Situasi Madinah sangat genting.

Namun walau dalam situasi seperti itu, Hanzhalah dengan tenang hati dan penuh keyakinan akan melangsungkan pernikahannya. Sungguh tindakannya itu merupakan gambaran sosok yang senantiassa tenang menghadapi berbagai macam keadaan.

Hanzhalah menikahi Jamilah, sang kekasih, pada suatu malam yang paginya akan berlangsung peperangan di Uhud. Ia meminta izin kepada Nabi saw untuk bermalam bersama istrinya. Ia tidak tahu persis apakah itu pertemuan atau perpisahan. Nabi pun mengizinkannya bermalam bersama istri yang baru saja dinikahinya.

Mereka memang baru saja menjalin sebuah ikatan. Memadu segala rasa dari dua lautan jiwa. Berjanji, menjaga bahtera tak akan karam walau kelak badai garang menghadang. Kini, dunia seakan menjadi milik berdua. Malam pertama yang selalu panjang bagi setiap mempelai dilalui dengan penuh mesra. Tak diharapkannya pagi segera menjelang. Segala gemuruh hasrat tertumpah. Sebab, sesuatu yang haram telah menjadi halal.

Langit begitu mempesona. Kerlip gemintang bagaikan menggoda rembulan yang sedang kasmaran. Keheningannya menjamu temaramnya rembulan, diukirnya do’a-do’a dengan goresan harapan, khusyu’, berharap regukan kasih sayang dari Sang Pemilik Cinta. Hingga tubuh penat itupun bangkit, menatap belahan jiwa dengan tatapan cinta. Hingga, sepasang manusia itu semakin dimabuk kepayang.

Indah…
Sungguh sebuah episode yang teramat indah untuk dilewatkan. Namun disaat sang pengantin asyik terbuai wanginya aroma asmara, seruan jihad berkumandang dan menghampiri gendang telinganya.

“Hayya ‘alal jihad… hayya ‘alal jihad…!!!”

Pemuda yang belum lama menikmati indahnya malam pertama itu tersentak. Jiwanya sontak terbakar karena ghirah. Suara itu terdengar sangat tajam menusuk telinganya dan terasa menghunjam dalam di dadanya. Suara itu seolah-olah irama surgawi yang lama dinanti. Hanzalah harus mengeluarkan keputusan dengan cepat. Bersama dengan hembusan angin fajar pertama, Hanzhalah pun segera melepaskan pelukan diri dari sang istri.

Dia segera menghambur keluar, dia tidak menunda lagi keberangkatannya, supaya ia bisa mandi terlebih dahulu. Istrinya meneguhkan tekadnya untuk keluar menyambut seruan jihad sambil memohon kepada Allah agar suaminya diberi anugerah salah satu dari dua kebaikan, menang atau mati syahid,

Dia berangkat diiringi deraian air mata kekasih yang dicintainya. Ia berangkat dengan kerinduan mengisi relung hatinya. Kerinduan saat-saat pertama yang sebelumnya sangat dinantikannya, saat mereka berdua terikat dalam jalinan suci. Namun semua itu berlalu bagaikan mimpi. Hanzalahpun akhirnya berangkat menuju medan laga untuk memenangkan cinta yang lebih besar atas segalanya. Bahkan untuk meraih kemenangan atas dirinya sendiri.

Kenikmatan yang bagai tuangan anggur memabukkan tak akan membuatnya terlena. Sehingga, iringan do’alah yang mengantar kepergiannya ke medan jihad. Dia bergegas mengambil peralatan perang yang memang telah lama dipersiapkan. Baju perang membalut badan, sebilah pedang terselip dipinggang. Siap bergabung dengan pasukan yang dipimpin Rasulullah saw.

Berperang bersama Hamzah, Abu Dujanah, Zubayr, Muhajirin dan Anshar yang terus berperang dengan yel-yel, seolah tak ada lagi yang bisa menahan mereka. Bulu-bulu putih pakaian Ali, surban merah Abu Dujanah, surban kuning Zubayr, surban hijau Hubab, melambai-lambai bagaikan bendera kemenangan, memberi kekuatan bagi barisan di belakangnya.

Tubuh Hanzhalah yang perkasa serta merta langsung berada di atas punggung kuda. Sambil membenahi posisinya di punggung kuda, tali kekang ditarik dan kuda melesat secepat kilat menuju barisan perang yang tengah bekecamuk. Tangannya yang kekar memainkan pedang dengan gerakan menebas dan menghentak, menimbulkan efek bak hempasan angin puting beliung.

Musuh datang bergulung. Merimbas-rimbas. Tak gentar, ia justru merangsek ke depan. Menyibak. Menerjang kecamuk perang. Nafasnya tersengal. Torehan luka di badan sudah tak terbilang. Tujuan utama ingin berhadapan dengan komandan pasukan lawan. Serang! Musuhpun bergelimpangan.

Takbir bersahut-sahutan. Lantang membahana bagai halilintar. Berdentam. Mendesak-desak ke segenap penjuru langit. Hanzhalah terus melabrak. Terjangannya dahsyat laksana badai. Pedangnya berkelebat. Suaranya melenting-lenting. Kilap mengintai. Deras menebas. Berkali-kali orang Quraisy yang masih berkutat dalam lembah jahiliyah itu mati terbunuh di tangannya.

Sementara itu, dari kejauhan Abu Sufyan melihat lelaki yang gesit itu. Dia
ingin sekali mendekat dan membunuhnya, tetapi nyalinya belum juga cukup
untuk membalaskan dendam kepada pembunuh anaknya di perang Badar itu. Situasi berbalik, kali ini giliran Hanzhalah mendekati Abu Sufyan ketika teman-temannya justru melarikan diri ketakutan. Abu Sufyan terpaksa melayaninya dalam duel satu lawan satu. Abu Sufyan terjatuh dari kudanya. Wajahnya pucat, ketakutan.

Pedang Hanzhalah yang berkilauan siap merobek lehernya. Dalam hitungan detik, nyawanya akan melayang. Tapi, dalam suasana genting itu, Abu Sufyan berteriak minta tolong, “Hai orang-orang Quraisy, tolong aku.”

Namun, untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Syadad bin Al-Aswad yang memang sudah disiagakan untuk menghabisi Hanzhalah, behasil menelikung gerakan hanzhalah dan menebas tengkuknya dari belakang. Tubuh yang gagah dan tegap itu jatuh berdebum ke tanah, boom!!! Para sahabat yang berada di sekitar dirinya mencoba untuk memberi pertolongan, namun langkah mereka terhenti.

Lantas orang-orang Quraisy di sekitarnya tanpa ampun mengayunkan pedangnya kepada Hanzhalah, dari kiri, kanan, dan belakang, sehingga Hanzhalah tersungkur. Dalam kondisi yang sudah parah, darah mengalir begitu deras dari tubuhnya, ia masih dihujani dengan lemparan tombak dari berbagai penjuru.

Tak lama kecamuk perang surut. Sepi memagut. Mendekap perih di banyak potongan tubuh yang tercerabut. Ia syahid di medan Uhud. Di sebuah gundukan tanah yang tampak masih basah, jasadnya terbujur.

Semburat cahaya terang dari langit membungkus jenazah Hanzhalah dan mengangkatnya ke angkasa setinggi rata-rata air mata memandang. Juga tejadi hujan lokal dan tubuhnya terbolak-balik seperti ada sesuatu yang hendak diratakan oleh air ke sekujur tubuh Hanzhalah. Bayang-bayang putih juga berkelebat mengiringi tetesan air hujan. Hujan mereda, cahaya terang padam diiringi kepergian bayang-bayang putih ke langit dan tubuh Hanzhalah kembali terjatuh dengan perlahan.

Subhanallah! Padahal sedari tadi hujan tak pernah turun mengguyur, setetes-pun. Para sahabat yang menyaksikan tak urung heran. Para sahabat kemudian membawa jenazah yang basah kuyup itu ke hadapan Rasulullah saw dan menceritakan tentang peristiwa yang mereka saksikan. Rasulullah meminta agar seseorang segera memanggil istri Hanzhalah.

Begitu wanita yang dimaksud tiba di hadapan Rasul, beliau menceritakan begini dan begini tentang Hanzhalah dan bertanya: “Apa yang telah dilakukan Hanzhalah sebelum kepergiannya ke medan perang?”

Wanita itu tertunduk. Rona pipinya memerah, dengan senyum tipis ia berkata: “Hanzhalah pergi dalam keadaan junub dan belum sempat mandi ya Rasulullah!”

Rasulullah kemudian berkata kepada yang hadir. “Ketahuilah oleh kalian. Bahwasannya jenazah Hanzhalah telah dimandikan oleh para malaikat. Bayang-bayang putih itu adalah istri-istrinya dari kalangan bidadari yang datang menjemputnya.”

Dengan malu-malu mereka (para bidadari) berkata; “Wahai Hanzhalah, wahai suami kami. Lama kami telah menunggu pertemuan ini. Mari kita keperaduan.”

“Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan kamu dari azab yang pedih?. (yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahuinya, niscaya Allah mengampuni dosa-dosamu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, dan (memasukkan kamu) ke tempat tinggal yang baik di dalam surga ‘Adn. Itulah keberuntungan yang besar.” (QS 61:10-12).

Ummu Ruman Seorang Bidadari Surga

Wanita ini bernama Zainab atau biasa disebut Di’din. Tapi ia lebih sering dipanggil dengan laqab (nama panggilan) Ummu Ruman. Wanita ini anak perempuan dari Amir bin Uwaimir bin Abdullah Syams bin ‘Iqab. Nasabnya berakhir di Kinanah.

Ummu Ruman tinggal di wilayah yang bernama As-Sirat, yaitu sebuah dataran berkontur pegunungan dan berbukitan di Jazirah Arabia. Ketika sampai usia akil balig, ia dinikahkan dengan pemuda sedesanya yang bernama Harits bin Sakhbarah bin Jurtsumah Al-Kaher. Dari pernikahan ini lahirlah seorang putra yang diberi nama Ath-Thufail.

Kemudian Ummu Ruman dan anaknya, Ath-Thufail, dibawa Harits pindah ke Makkah. Di Makkah, keluarga kecil ini tinggal dan mendapat perlindungan dari Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a. Sayang, Harits tidak dikarunia Allah swt. dengan umur panjang. Ia meninggal setelah setahun tinggal di Makkah. Abu Bakar kemudian menikahi Ummu Ruman dan merawat Ath-Thufail. Ummu Ruman pun menjadi istri kedua Abu Bakar.

Dari istri pertamanya, Abu Bakar memiliki dua orang anak, yaitu Asma dan Abdullah. Dari pernikahan dengan Ummu Ruman, Abu Bakar pun mendapat dua orang anak, yaitu Aisyah dan Abdurrahman. Selisih usia Asma dan Aisyah sepuluh tahun. Ummu Ruman menyatukan Ath-Thufail, Asma, Abdullah, Aisyah, dan Abdurrahman dalam asuhannya.

Ummu Ruman masuk Islam ketika Abu Bakar masuk Islam. Jadi, ia termasuk salah satu as-sabiqunal awwalun (kelompok pertama yang masuk Islam). Seluruh anak-anaknya mengikuti jejaknya masuk Islam, kecuali Abdurrahman. Dengan begitu, rumah Ummu Ruman adalah rumah kedua yang berada dalam naungan Islam setelah rumah Rasulullah saw.

Berbagai macam siksaan yang dilakukan kafir Quraisy kepada kaum muslimin di Makkah juga menimpa diri Ummu Ruman. Apalagi ia aktif bahu-membahu dengan suaminya, Abu Bakar, menyelamatkan orang-orang yang telah memeluk Islam ketika itu dari gangguan kafir Quraisy.

Sebagai ibu, Ummu Ruman sangat disiplin dan berhasil mendidik anak-anaknya. Sebagai seorang istri, ia sangat menghormati hak-hak suaminya. Dan, ia adalah seorang wanita yang menepati janji lagi bijak bestari. Sifat-sifat mulia itu terekam dalam peristiwa Rasulullah saw. meminang Aisyah.

Muhammad bin Amr menceritakan kepada kami. Ia berkata, Abu Salamah dan Yahya menceritakan kepada kami, ketika Khadijah telah meninggal dunia, Khaulah binti Hakim –istri Utsman bin Mazh’un—datang menemui Rasulullah saw. dan berkata, “Ya Rasulullah, tidakkah engkau menikah lagi?” Beliau berkata, “Dengan siapa?” Khaulah berkata, “Apabila engkau mau, engkau dapat menikahi seorang gadis, atau seorang janda.” Beliau bertanya, “Siapakah gadis tersebut?” Khaulah menjawab, “Putri hamba Allah Azza wa Jalla yang paling engkau cintai di muka bumi, Aisyah binti Abu Bakar.” Beliau bertanya lagi, “Lalu siapakah janda tersebut?” Khaulah menjawab, “Saudah binti Zam’ah. Ia telah beriman kepadamu dan mengikuti segala yang engkau ucapkan.” Rasulullah berkata, “Kalau begitu pergilah kepada keduanya, dan sebutkan namaku kepada mereka.”

Khaulah kemudian datang ke rumah Abu Bakar, dan ketika masuk ia berkata, “Wahai Ummu Ruman, kebaikan dan keberkahan apakah yang dicurahkan Allah Azza wa Jalla kepada kalian?” Ummu Ruman bertanya, “Apakah itu?” Khaulah menjawab, “Rasulullah saw. mengutusku meminang Aisyah untuk beliau.” Ummu Ruman berkata, “Kalau begitu, tunggulah sampai Abu Bakar pulang.”

Setelah Abu Bakar tiba, Khaulah menyampaikan maksud Rasulullah saw. Setelah mendengan kabar itu, Abu Bakar berkata, “Tunggu sebentar.” Abu Bakar pun keluar rumah. Ummu Ruman berkata kepada Khaulah, “Sesungguhnya Muth’im bin Ady pernah menyebutkan nama Aisyah di hadapan putranya, dan demi Allah, Abu Bakar tidak pernah menjanjikan sesuatu lalu melanggarnya.”

Abu Bakar pergi menemui Muth’im bin Ady. Ternyata Muth’im menarik kembali ucapannya karena khawatir anaknya masuk Islam. Setelah itu, Abu Bakar berkata kepada Khaulah, “Panggillah Rasulullah saw. kemari.” Khaulah pun pergi menjemput Rasulullah saw. Tak lama kemudian Abu Bakar menikahkan Rasulullah saw. dengan putrinya, Aisyah, yang ketika itu berusia 6 tahun.

Tak lama setelah pernikahan itu, Rasulullah saw. mendapat perintah untuk berhijrah. Abu Bakar diminta Rasulullah saw. mendampingi. Abu Bakar segera menyampaikan hal itu kepada isterinya, Ummu Ruman. Berita itu tidak membuat Ummu Ruman takut, meski ia harus tetap tinggal di Makkah bersama dengan anak-anaknya di bawah ancaman mara bahaya yang mungkin terjadi. Ummu Ruman justru berkata, “Sesungguhnya keluarga Rasulullah saw. harus menjadi teladan kita.”

Setelah Abu Bakar berangkat mendampingi Rasulullah saw. menuju Madinah, Ummu Ruman tetap melakukan tugas dan perannya seperti biasa. Tak lama kemudian ia menyusul hijrah ke Madinah bersama keluarganya dan keluarga Rasulullah saw., Fathimah, Ummu Kaltsum, Saudah, Zaid bin Haritsah, Abu Rafi’, hamba sahaya Rasulullah saw., Abdullah bin Ariqazh yang diutus Nabi untuk membawa mereka semua ke Madinah. Thalhah bin Abdullah pun turut serta dalam kafilah ini.

Ketika tiba di Madinah, Ummu Ruman berkata kepada suaminya, “Wahai Abu Bakar, tidakkah engkau mengingatkan Rasulullah saw. tentang perkara Aisyah?” Maka Abu Bakar segera berangkat menemui Rasulullah saw. dan berkata kepadanya, “Tidakkah engkau ingin menggauli keluargamu, ya Rasulullah?”

Kisah selanjutnya Aisyah sendiri yang menceritakannya. Aisyah r.a. berkata, “Nabi Muhammad saw. menikahiku pada saat aku berusia 6 tahun. Kami kemudian pergi ke Madinah dan tinggal di kediaman Bani Harits bin Khazraj, ketika itu saya tidak enak badan dan rambut pun rontok. Ibuku –Ummu Ruman—kemudian mendatangiku yang ketika itu aku berada di sebuah ayunan bersama teman-temanku. Ia kemudian memanggilku. Aku pun mendatanginya meski tidak tahu apa yang ia inginkan dariku.

Ia kemudian memegang tanganku dan menghadangku di pintu rumah, hingga aku mulai merasa tidak tenang. Ia kemudian mengambil sesuatu dari air dan mengusapkannya pada wajah dan kepalaku. Ia kemudian memasukkanku ke sebuah rumah yang sudah dipenuhi wanita-wanita Anshar. Mereka berkata, ‘Dengan segala kebaikan dan keberkahan, dan rezeki yang baik.’ Ia kemudian menyerahkanku kepada mereka dan segera mendandaniku, dan hal ini tidak membuatku merasa takut kecuali kedatangan Rasulullah saw. Mereka kemudian menyerahkanku kepada beliau, dan ketika itu aku berusia 9 tahun.” (HR. Bukhari dalam Kitab Manaqib, hadits nomor 3605)

Hubungan Rasulullah saw. dan Aisyah mendapat cobaan yang begitu dahsyat. Peristiwa ini juga berat dirasakan oleh Ummu Ruman, ibu Aisyah. Pada tahun keenam Hijriah, kaum munafikin menghembuskan fitnah yang menyerang kehormatan dan kemuliaan Aisyah. Ketika pulang dari memerangi Bani Musthaliq, Aisyah tertinggal rombongan Rasulullah saw. Ada seorang sahabat menemukan Aisyah dan mengantar pulang ke Madinah.

Sesampai di Madinah Aisyah sakit. Ia meminta izin kepada Rasulullah saw. untuk dirawat di rumah ibunya, Ummu Ruman. Ketika itu sebenarnya sang ibu telah mendengar fitnah yang dihembuskan oleh kaum munafikin terhadap kesucian Aisyah. Ia berusaha menyembunyikan kabar itu dari anaknya.

Dari Masruq bin Ajda’ berkata, Ummu Ruman menceritakan kepadaku seraya berkata, ‘Ketika kami sedang duduk bersama Aisyah, tiba-tiba masuk seorang wanita Anshar dan berkata, “Semoga Allah melakukan yang demikian terhadap fulan!” Ummu Ruman kemudian berkata, “Siapakah orang itu?”

Wanita tersebut berkata, “Ia adalah putraku yang menceritakan desas-desus itu.” Ummu Ruman bertanya, “Apakah desas-desus tersebut.” Wanita itu pun menceritakan isu yang merebak di tengah kota berupa tuduhan terhadap Aisyah r.a. Aisyah kemudian berkata, “Apakah Rasulullah saw. telah mendengar berita tersebut?” Ia berkata, “Ya.” Ia bertanya, “Dan Abu Bakar?” Wanita itu menjawab, “Ya.” Mendengar itu, Aisyah pun jatuh pingsan.

Ketika sadar, Aisyah menemukan dirinya didera demam yang sangat tinggi. Saya –Ummu Ruman—lalu menghamparkan pakaiannya untuk menutupi tubuhnya.”

Tak lama kemudian Rasulullah saw. datang dan bertanya, “Bagaimana kondisi orang ini?” Ummu Ruman menjawab, “Ya Rasulullah , dia didera demam yang sangat tinggi.” Beliau berkata, “Mungkin saja karena desas-desus yang terkait dengan dirinya.” Ummu Ruman menjawab, “Ya.”

Aisyah kemudian duduk dan berkata kepada Rasulullah saw., “Kalaupun aku bersumpah, engkau tidak akan mempercayaiku. Dan bila aku mengatakannya, niscaya engkau tidak akan memaafkanku. Perumpamaan diriku dan dirimu bagaikan Ya’qub dan anak-anaknya yang berkata, ‘Dan Allah Maha Penolong atas apa yang kalian ceritakan.’”

Ummu Ruman berkata, “Beliau kemudian keluar dan tidak mengatakan apapun hingga Allah menurunkan firmanNya tentang kesucian Aisyah. Aisyah kemudian berkata, ‘Segala puji hanya untuk Allah semata, dan bukan pujian untuk seorang pun, juga tidak untuk dirimu.” (HR. Bukhari dalam Kitab Maghazi, hadits nomor 3828).

Setelah peristiwa itu, di tahun keenam Hijriah itu juga, Ummu Ruman wafat karena sakit yang dideritanya. Rasulullah saw. ikut turun ke dalam kuburannya dan berdoa di sana. Beliau berkata, “Barangsiapa yang ingin melihat wanita bidadari surga, hendaklah melihat Ummu Ruman.”

***

Empat Kejahatan Orang Tua Terhadap Anak

Rasulullah saw. sangat penyayang terhadap anak-anak, baik terhadap keturunan beliau sendiri ataupun anak orang lain. Abu Hurairah r.a. meriwayatkan bahwa suatu ketika Rasulullah saw. mencium Hasan bin Ali dan didekatnya ada Al-Aqra’ bin Hayis At-Tamimi sedang duduk. Ia kemudian berkata, “Aku memiliki sepuluh orang anak dan tidak pernah aku mencium seorang pun dari mereka.” Rasulullah saw. segera memandang kepadanya dan berkata, “Man laa yarham laa yurham, barangsiapa yang tidak mengasihi, maka ia tidak akan dikasihi.” (HR. Bukhari di Kitab Adab, hadits nomor 5538).

Bahkan dalam shalat pun Rasulullah saw. tidak melarang anak-anak dekat dengan beliau. Hal ini kita dapat dari cerita Abi Qatadah, “Suatu ketika Rasulullah saw. mendatangi kami bersama Umamah binti Abil Ash –anak Zainab, putri Rasulullah saw.—Beliau meletakkannya di atas bahunya. Beliau kemudian shalat dan ketika rukuk, Beliau meletakkannya dan saat bangkit dari sujud, Beliau mengangkat kembali.” (HR. Muslim dalam Kitab Masajid wa Mawadhi’ush Shalah, hadits nomor 840).

Peristiwa itu bukan kejadian satu-satunya yang terekam dalam sejarah. Abdullah bin Syaddad juga meriwayatkan dari ayahnya bahwa, “Ketika waktu datang shalat Isya, Rasulullah saw. datang sambil membawa Hasan dan Husain. Beliau kemudian maju (sebagai imam) dan meletakkan cucunya. Beliau kemudian takbir untuk shalat. Ketika sujud, Beliau pun memanjangkan sujudnya. Ayahku berkata, ‘Saya kemudian mengangkat kepalaku dan melihat anak kecil itu berada di atas punggung Rasulullah saw. yang sedang bersujud. Saya kemudian sujud kembali.’ Setelah selesai shalat, orang-orang pun berkata, ‘Wahai Rasulullah, saat sedang sujud di antara dua sujudmu tadi, engkau melakukannya sangat lama, sehingga kami mengira telah terjadi sebuha peristiwa besar, atau telah turun wahyu kepadamu.’ Beliau kemudian berkata, ‘Semua yang engkau katakan itu tidak terjadi, tapi cucuku sedang bersenang-senang denganku, dan aku tidak suka menghentikannya sampai dia menyelesaikan keinginannya.” (HR. An-Nasai dalam Kitab At-Thathbiq, hadits nomor 1129).

Usamah bin Zaid ketika masih kecil punya kenangan manis dalam pangkuan Rasulullah saw. “Rasulullah saw. pernah mengambil dan mendudukkanku di atas pahanya, dan meletakkan Hasan di atas pahanya yang lain, kemudian memeluk kami berdua, dan berkata, ‘Ya Allah, kasihanilah keduanya, karena sesungguhnya aku mengasihi keduanya.’” (HR. Bukhari dalam Kitab Adab, hadits nomor 5544).

Begitulah Rasulullah saw. bersikap kepada anak-anak. Secara halus Beliau mengajarkan kepada kita untuk memperhatikan anak-anaknya. Beliau juga mencontohkan dalam praktik bagaimana bersikap kepada anak dengan penuh cinta, kasih, dan kelemahlembutan.

Karena itu, setiap sikap yang bertolak belakang dengan apa-apa yang dicontohkan oleh Rasulullah saw., adalah bentuk kejahatan kepada anak-anak. Setidak ada ada empat jenis kejahatan yang kerap dilakukan orang tua terhadap anaknya.

Kejahatan pertama: memaki dan menghina anak

Bagaimana orang tua dikatakan menghina anak-anaknya? Yaitu ketika seorang ayah menilai kekurangan anaknya dan memaparkan setiap kebodohannya. Lebih jahat lagi jika itu dilakukan di hadapan teman-teman si anak. Termasuk dalam kategori ini adalah memberi nama kepada si anak dengan nama yang buruk.

Seorang lelaki penah mendatangi Umar bin Khattab seraya mengadukan kedurhakaan anaknya. Umar kemudian memanggil putra orang tua itu dan menghardiknya atas kedurhakaannya. Tidak lama kemudan anak itu berkata, “Wahai Amirul Mukminin, bukankah sang anak memiliki hak atas orang tuanya?”
“Betul,” jawab Umar.
“Apakah hak sang anak?”
“Memilih calon ibu yang baik untuknya, memberinya nama yang baik, dan mengajarkannya Al-Qur’an,” jawab Umar.
“Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya ayahku tidak melakukan satu pun dari apa yang engkau sebutkan. Adapun ibuku, ia adalah wanita berkulit hitam bekas hamba sahaya orang majusi; ia menamakanku Ju’lan (kumbang), dan tidak mengajariku satu huruf pun dari Al-Qur’an,” kata anak itu.
Umar segera memandang orang tua itu dan berkata kepadanya, “Engkau datang untuk mengadukan kedurhakaan anakmu, padahal engkau telah durhaka kepadanya sebelum ia mendurhakaimu. Engkau telah berbuat buruk kepadanya sebelum ia berbuat buruk kepadamu.”

Rasulullah saw. sangat menekankan agar kita memberi nama yang baik kepada anak-anak kita. Abu Darda’ meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya kalian akan dipanggil pada hari kiamat dengan nama-nama kalian dan nama ayah kalian, maka perbaikilah nama kalian.” (HR. Abu Dawud dalam Kitab Adab, hadits nomor 4297).

Karena itu Rasulullah saw. kerap mengganti nama seseorang yang bermakna jelek dengan nama baru yang baik. Atau, mengganti julukan-julukan yang buruk kepada seseorang dengan julukan yang baik dan bermakna positif. Misalnya, Harb (perang) menjadi Husain, Huznan (yang sedih) menjadi Sahlun (mudah), Bani Maghwiyah (yang tergelincir) menjadi Bani Rusyd (yang diberi petunjuk). Rasulullah saw. memanggil Aisyah dengan nama kecil Aisy untuk memberi kesan lembut dan sayang.

Jadi, adalah sebuah bentuk kejahatan bila kita memberi dan memanggil anak kita dengan sebutan yang buruk lagi dan bermakna menghinakan dirinya.

Kejahatan kedua: melebihkan seorang anak dari yang lain

Memberi lebih kepada anak kesayangan dan mengabaikan anak yang lain adalah bentuk kejahatan orang tua kepada anaknya. Sikap ini adalah salah satu faktor pemicu putusnya hubungan silaturrahmi anak kepada orang tuanya dan pangkal dari permusuhan antar saudara.

Nu’man bin Basyir bercerita, “Ayahku menginfakkan sebagian hartanya untukku. Ibuku –’Amrah binti Rawahah—kemudian berkata, ‘Saya tidak suka engkau melakukan hal itu sehinggi menemui Rasulullah.’ Ayahku kemudian berangkat menemui Rasulullah saw. sebagai saksi atas sedekah yang diberikan kepadaku. Rasulullah saw. berkata kepadanya, ‘Apakah engkau melakukan hal ini kepada seluruh anak-anakmu?’ Ia berkata, ‘Tidak.’ Rasulullah saw. berkata, ‘Bertakwalah kepada Allah dan berlaku adillah kepada anak-anakmu.’ Ayahku kemudian kembali dan menarik lagi sedekah itu.” (HR. Muslim dalam Kitab Al-Hibaat, hadits nomor 3055).

Dan puncak kezaliman kepada anak adalah ketika orang tua tidak bisa memunculkan rasa cinta dan sayangnya kepada anak perempuan yang kurang cantik, kurang pandai, atau cacat salah satu anggota tubuhnya. Padahal, tidak cantik dan cacat bukanlah kemauan si anak. Apalagi tidak pintar pun itu bukanlah dosa dan kejahatan. Justru setiap keterbatasan anak adalah pemacu bagi orang tua untuk lebih mencintainya dan membantunya. Rasulullah saw. bersabda, “Rahimallahu waalidan a’aana waladahu ‘ala birrihi, semoga Allah mengasihi orang tua yang membantu anaknya di atas kebaikan.” (HR. Ibnu Hibban)

Kejahatan ketiga: mendoakan keburukan bagi si anak

Abu Hurairah r.a. berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Tsalatsatu da’awaatin mustajaabaatun: da’watu al-muzhluumi, da’watu al-musaafiri, da’watu waalidin ‘ala walidihi; Ada tiga doa yang dikabulkan: doa orang yang teraniaya, doa musafir, dan doa (keburukan) orang tua atas anaknya.” (HR. Tirmidzi dalam Kitab Birr wash Shilah, hadits nomor 1828)

Entah apa alasan yang membuat seseorang begitu membenci anaknya. Saking bencinya, seorang ibu bisa sepanjang hari lidahnya tidak kering mendoakan agar anaknya celaka, melaknat dan memaki anaknya. Sungguh, ibu itu adalah wanita yang paling bodoh. Setiap doanya yang buruk, setiap ucapan laknat yang meluncur dari lidahnya, dan setiap makian yang diucapkannya bisa terkabul lalu menjadi bentuk hukuman bagi dirinya atas semua amal lisannya yang tak terkendali.

Coba simak kisah ini. Seseorang pernah mengadukan putranya kepada Abdullah bin Mubarak. Abdullah bertanya kepada orang itu, “Apakah engkau pernah berdoa (yang buruk) atasnya.” Orang itu menjawab, “Ya.” Abdullah bin Mubarak berkata, “Engkau telah merusaknya.”

Na’udzubillah! Semoga kita tidak melakukan kesalahan seperti yang dilakukan orang itu. Bayangkan, doa buruk bagi anak adalah bentuk kejahatan yang akan menambah rusak si anak yang sebelumnya sudah durhaka kepada orang tuanya.

Kejahatan keempat: tidak memberi pendidikan kepada anak

Ada syair Arab yang berbunyi, “Anak yatim itu bukanlah anak yang telah ditinggal orang tuanya dan meninggalkan anak-anaknya dalam keadaan hina. Sesungguhnya anak yatim itu adalah yang tidak dapat dekat dengan ibunya yang selalu menghindar darinya, atau ayah yang selalu sibuk dan tidak ada waktu bagi anaknya.”

Perhatian. Itulah kata kuncinya. Dan bentuk perhatian yang tertinggi orang tua kepada anaknya adalah memberikan pendidikan yang baik. Tidak memberikan pendidikan yang baik dan maksimal adalah bentuk kejahatan orang tua terhadap anak. Dan segala kejahatan pasti berbuah ancaman yang buruk bagi pelakunya.

Perintah untuk mendidik anak adalah bentuk realisasi iman. Perintah ini diberikan secara umum kepada kepala rumah tangga tanpa memperhatikan latar belakang pendidikan dan kelas sosial. Setiap ayah wajib memberikan pendidikan kepada anaknya tentang agamanya dan memberi keterampilan untuk bisa mandiri dalam menjalani hidupnya kelak. Jadi, berilah pendidikan yang bisa mengantarkan si anak hidup bahagia di dunia dan bahagia di akhirat.

Perintah ini diberikan Allah swt. dalam bentuk umum. “Hai orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya dari manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkanNya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim: 6)

Adalah sebuah bentuk kejahatan terhadap anak jika ayah-ibu tenggelam dalam kesibukan, sehingga lupa mengajarkan anaknya cara shalat. Meskipun kesibukan itu adalah mencari rezeki yang digunakan untuk menafkahi anak-anaknya. Jika ayah-ibu berlaku seperti ini, keduanya telah melanggar perintah Allah di surat Thaha ayat 132. “Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu, Kamilah yang memberi rezeki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa.”

Rasulullah saw. bersabda, “Ajarilah anak-anakmu shalat saat mereka berusia tujuh tahun, dan pukullah mereka (bila tidak melaksanakan shalat) pada usaia sepuluh tahun.” (HR. Tirmidzi dalam Kitab Shalah, hadits nomor 372).

Ketahuilah, tidak ada pemberian yang baik dari orang tua kepada anaknya, selain memberi pendidikan yang baik. Begitu hadits dari Ayyub bin Musa yang berasal dari ayahnya dan ayahnya mendapat dari kakeknya bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Maa nahala waalidun waladan min nahlin afdhala min adabin hasanin, tak ada yang lebih utama yang diberikan orang tua kepada anaknya melebihi adab yang baik.” (HR. Tirmidzi dalam Kitab Birr wash Shilah, hadits nomor 1875. Tirmidzi berkata, “Ini hadits mursal.”)

Semoga kita tidak termasuk orang tua yang melakukan empat kejahatan itu kepada anak-anak kita. Amin.

***