Minggu, 05 Juli 2009

Wanita yang Aduannya Didengar Allah dari Langit Ketujuh

Beliau adalah Khaulah binti Tsa’labah bin Ashram bin Fahar bin
Tsa’labah Ghanam bin Auf. Suaminya adalah saudara dari Ubadah
bin Shamit, yaitu Aus bin Shamit bin Qais. Aus bin Shamit bin Qais
termasuk sahabat Rasulullah yang selalu mengikuti Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam peperangan, termasuk perang
Badar dan perang Uhud. Anak mereka bernama Rabi’.

Suatu hari, Khaulah binti Tsa’labah mendapati suaminya sedang
menghadapi suatu masalah. Masalah tersebut kemudian memicu
kemarahannya terhadap Khaulah, sehingga dari mulut Aus terucap
perkataan, “Bagiku, engkau ini seperti punggung ibuku.” Kemudian
Aus keluar dan duduk-duduk bersama orang-orang. Beberapa lama
kemudian Aus masuk rumah dan ‘menginginkan’ Khaulah. Akan
tetapi kesadaran hati dan kehalusan perasaan Khaulah membuatnya
menolak hingga jelas hukum Allah terhadap kejadian yang baru
pertama kali terjadi dalam sejarah islam (yaitu dhihaar). Khaulah
berkata, “Tidak… jangan! Demi yang jiwa Khaulah berada di tangan-
Nya, engkau tidak boleh menjamahku karena engkau telah
mengatakan sesuatu yang telah engkau ucapkan terhadapku sampai
Allah dan Rasul-Nya memutuskan hukum tentang peristiwa yang
menimpa kita.”

Kemudian Khaulah keluar menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam untuk meminta fatwa dan berdialog tentang peristiwa
tersebut. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kami
belum pernah mendapatkan perintah berkenaan dengan urusanmu
tersebut… aku tidak melihat melainkan engkau sudah haram
baginya.” Sesudah itu Khaulah senantiasa mengangkat kedua
tangannya ke langit sedangkan di hatinya tersimpan kesedihan dan
kesusahan. Beliau berdo’a, “Ya Allah sesungguhnya aku mengadu
tentang peristiwa yang menimpa diriku.” Tiada henti-hentinya
wanita ini ini berdo’a hingga suatu ketika Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam pingsan sebagaimana biasanya beliau pingsan
tatkala menerima wahyu. Kemudian setelah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam sadar, beliau bersabda, “Wahai Khaulah, sungguh
Allah telah menurunkan ayat Al-Qur’an tentang dirimu dan
suamimu.” kemudian beliau membaca firman Allah yang artinya,
“Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang
mengajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan
mengadukan (halnya) kepada Allah. Dan Allah mendengar soal
jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar
lagi Maha Melihat…..” sampai firman Allah: “Dan bagi orang-orang
kafir ada siksaan yang pedih.” (QS. Al-Mujadalah:1-4)

Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan
kepada Khaulah tentang kafarah dhihaar, yaitu memerdekakan
budak, jika tidak mampu memerdekakan budak maka berpuasa dua
bulan berturut-turut atau jika masih tidak mampu berpuasa maka
memberi makan sebanyak enam puluh orang miskin.

Inilah wanita mukminah yang dididik oleh islam, wanita yang telah
menghentikan khalifah Umar bin Khaththab saat berjalan untuk
memberikan wejangan dan nasehat kepadanya. Dalam sebuah
riwayat, Umar berkata, “Demi Allah seandainya beliau tidak
menyudahi nasehatnya kepadaku hingga malam hari maka aku tidak
akan menyudahinya sehingga beliau selesaikan apa yang dia
kehendaki, kecuali jika telah datang waktu shalat maka saya akan
mengerjakan shalat kemudian kembali untuk mendengarkannya
hingga selesai keperluannya.”

Alangkah bagusnya akhlaq Khaulah, beliau berdiri di hadapan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berdialog untuk
meminta fatwa, adapun istighatsah dan mengadu tidak ditujukan
melainkan hanya kepada Allah Ta’ala. Beliau berdo’a tak henti-
hentinya dengan penuh harap, penuh dengan kesedihan dan
kesusahan serta penyesalan yang mendalam. Sehingga do’anya
didengar Allah dari langit ketujuh.

Allah berfirman yang artinya, “Berdo’alah kepada-Ku, niscaya akan
Ku-perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang
menyombongkan diri dari beribadah (berdo’a) kepada–Ku akan
masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina.” (QS. Al-Mu’min: 60)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda yang artinya,
“Sesungguhnya Rabb kalian Yang Maha Suci lagi Maha Tinggi itu
Maha Malu lagi Maha Mulia, Dia malu terhadap hamba-Nya jika
hamba-Nya mengangkat kedua tangannya kepada-Nya untuk
mengembalikan keduanya dalam keadaan kosong (tidak
dikabulkan).” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Hikmah

Tidak setiap do’a langsung dikabulkan oleh Allah. Ada faktor-faktor
yang menyebabkan do’a dikabulkan serta adab-adab dalam berdo’a,
diantaranya:

1. Ikhlash karena Allah semata adalah syarat yang paling utama
dan pertama, sebagaimana firman Allah yang artinya, “Maka
sembahlah Allah dengan memurnikan ibadah kepada-Nya,
meskipun orang-orang kafir tidak menyukai(nya).”
(QS. Al-Mu’min: 14)

2. Mengawali do’a dengan pujian dan sanjungan kepada Allah,
diikuti dengan bacaan shalawat atas Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dan diakhiri dengan shalawat lalu tahmid.

3. Bersungguh-sungguh dalam memanjatkan do’a serta yakin akan
dikabulkan. Sebagaimana yang dilakukan oleh Khaulah binti
Tsa’labah radhiyallahu ‘anha.

4. Mendesak dengan penuh kerendahan dalam berdo’a, tidak
terburu-buru serta khusyu’ dalam berdo’a.

5. Tidak boleh berdo’a dan memohon sesuatu kecuali hanya
kepada Allah semata.

6. Serta hal-hal lain yang sesuai tuntunan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam.

Selain hal-hal di atas, agar do’a kita terkabul maka hendaknya kita
perhatikan waktu, keadaan, dan tempat ketika kita berdo’a.
Disyari’atkan untuk berdo’a pada waktu, keadaan dan tempat
yang mustajab untuk berdo’a. Ketiga hal tersebut merupakan faktor yang
penting bagi terkabulnya do’a. Diantara waktu-waktu yang
mustajab tersebut adalah:

Malam Lailatul qadar.

Pertengahan malam terakhir, ketika tinggal sepertiga malam yang akhir

Akhir setiap shalat wajib sebelum salam.

Waktu di antara adzan dan iqomah.

Pada saat turun hujan.

Serta waktu, keadaan, dan tempat lainnya yang telah diberitakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.


Semoga Allah memberikan kita taufiq agar kita semakin
bersemangat dan memperbanyak do’a kepada Allah atas segala
hajat dan masalah kita. Saudariku, jangan sekali pun kita berdo’a
kepada selain-Nya karena tiada Dzat yang berhak untuk diibadahi
selain Allah Subhanahu wa Ta’ala dan janganlah kita berputus asa
ketika do’a kita belum dikabulkan oleh Allah. Wallahu Ta’ala a’lam.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar